Widad

Widad bererti saling cinta menyintai yakni kasih yg bertimbal balik, merupakan satu rumpun kata dengan mawaddah (QS Ar-Rum [30] :21). “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang.

Sabda Rasulullah saw ’Perumpamaan orang-orang beriman dalam saling mencintai, saling menyayangi, dan saling bersimpati adalah seperti satu tubuh, jika ada satu organ yang sakit, maka organ-organ lainnya akan terkesan olehnya sehingga susah tidur dan demam.” (HR Muttafaqun ‘alaih).

Mengingatkan betapa penting wuddun atau widad atau tawaddihim inilah, maka Hasan Al Banna mengatakan: ‘Laa tufsiduu lil wuddi qodhiyyah’. Maksudnya: Janganlah permasalahan, pertikaian, perselisihan diantara sesama da’i, murabbi dan mutarabbi, qidayah dan junud, syekh dan murid menjadi penyebab hancurnya cinta kasih yang ada diantara mereka.

Intima’

Intima’ adalah penggabungan diri atau dokongan dgn membawa erti hubungan diantara sesama da’I atau murabbi’ dan mutarabbi, atau qiyadah dan junud hendaklah dibangunkan atas dasar ‘widad’, bahkan hubungan antara sesama muslim pun haruslah dibangun atas dasar dan prinsip ini.

Sebab itulah, dalam salah satu risalahnya, Hasan Al Banna menjelaskan bahwa lembaga tarbiyah hendaklah dibangunkan di atas tiga rukun yaitu ta’aruf, tafahum dan takaful. Dalam penjelasannya, ia memaparkan bahwa yang dimaksud dengan ta’aruf adalah upaya saling mengenali antara sesama da’i, saling mencintai karena Allah, upaya merasai nilai ukhuwwah yang benar dan sempurna, kesungguhan untuk tidak mengeruhkan hubungan dengan syi’ar ‘innamal mukminuuna ikhwah, wa’tashimu bihablillah.’

Sementara yang dimaksud ‘tafahum’ – adalah istiqamah di atas manhaj Al Haqq, menjalankan perintah Allah, menjauhi larangan-Nya, ‘muhasabatun- nafs’, saling menasihati dengan adab-adab dan upaya untuk senantiasa mencintai saudaranya, menghormati dan mencintainya.’

Imam Syafi’i berkata: ‘Al-hurru man raa-’aa widaada lahzhatin, wantamaa li man afaadahu lafzhatan’.’ Manusia merdeka adalah seseorang yang memperhatikan, memelihara ‘widad’ walaupun sesaat, dan berintima’ kepada orang yang telah memberikan faedah kepadanya, meskipun hanya ‘lafzhatan’ (satu kata). Pernyataan Imam Syafi’i ini perlu kita renungi ‘ibrah yang terkandung di dalamnya terutama dalam dakwah, tarbiyah dan harakah: Ada empat istilah yang perlu diperhatikan samaada kita sebagai ‘murabbi’ ataupun’ mutarabbi’, atau sebagai ‘qiyadah’ ataupun ‘junud’ iaitu ‘widad – muro’at – ifadah – intima’. Jika kita seorang ‘murabbi’, dan menginginkan adanya ‘muro’at’ (perhatian, penjagaan, pemeliharaan, dan pembelaan, kesetiaan dll) dari mutarabbi kita, maka terlebih dahulu, kita harus memberikan ‘widad’ kepada para ‘mutarabbi’ kita. Begitu juga qaid (pemimpin) yg menginginkan adanya ‘intima’’ (penggabungan diri, dukungan) dari junud maka terlebih dahulu, kita harus memberikan ‘ifadah’ (hal-hal yang bermanfaat dan berfaedah) kepada para ‘mutarabbi’ dan jundi kita. Sebaliknya, bila kita adalah ‘mutarabbi’, maka hendaklah kita menyadari betapa banyak ‘widad’ dan ‘ifadah’ yang telah kita dapatkan dari ‘murabbi’ bukan satu detik tetapi mungkin dah berbulan, atau bertahun bah kan bukan sekadar hanya satu kata (‘lafzhatin’), maka sewajarnyalah kita me-’muro’at-i’ dan ber-’intima’’ kepada murabbi kita itu. Begitu halnya sikap kita sebagai jundi terhadap ‘qiyadah’ kita.’ Kadang-kadang, sebagian kita menganggap bahwa hubungan antara ‘murabbi’ dan ‘mutarabbi’ adalah hubungan bahan semata-mata (menyampaikan bahan tarbiyah atau pembinaan). Persepsi seperti ini adalah salah, ada sesuatu yang lebih penting yaitu ‘widad’, maksudnya: sudah sejauh manakah sang Murabbi memberikan ‘widad’-nya kepada sang mutarabbi, dan sudah seberapa besar sang mutarabbi merasakan widad dari murabbinya.’

Sabda Rasulullah saw:’ “Tidaklah kalian masuk syurga sehingga kalian beriman, dan tidaklah kalian beriman sehingga kalian saling mencintai, …” (HR Muslim).’ ‘

Perlu kita ketahui bahwa hubungan (berdasarkan bahan) tidaklah sehebat hubungan ‘ifadah’, sebab, bisa saja seorang murabbi menyampaikan suatu bahan, akan tetapi, bagi mutarabbi, ia merasa tidak mendapatkan faedah apa-apa dari bahan itu yakni tidak mendapat sesuatu yang terasa betul sangat berguna bagi kehidupan agama seorang ‘mutarabbi’, atau ‘ma’asy’ (kehidupan duniawinya) atau boleh terjadi bahan itu sudah tidah menepati suasana yg baru sbb asyik2 itu itu juga atau mungkin terlalu hambar, kurang sedap, atau mungkin banyak kesalahan tulis dan ilmiahnya atau karena kemungkinan- kemungkinan lainnya yang menyebabkan hilangnya nilai faedah dari bahan itu.

Perlu ditegaskan di sini, bahwa tujuan kita memberikan ‘widad’ dan ‘ifadah’ bukanlah agar kita mendapatkan ‘muro’at’ dan ‘intima’’ tadi, akan tetapi, tujuan kita tetap utk meraih redha Allah swt, ‘muro’at’ dan ‘intima’ itu harus kita sikapi seperti ghanimah dalam peperangan, bila ada kita ambil, bila tidak ada kita sudah mengikhlaskannya untuk Allah swt dan mengharapkan ganjaran di sisi-Nya di akhirat nanti, amiiiin.

Marilah kita renung kembali empat kata penting dalam kalimat Imam Syafi’i di atas, semoga kita termasuk orang-orang yang mampu memberikan widad kepada ‘mutarabbi’ kita, bukan dengan tujuan ingin mendapatkan ‘muro’at’, akan tetapi karena Allah swt, dan semoga kita termasuk orang-orang yang senantiasa mampu memberikan ‘ifadah’ kepada orang lain, bukan dengan tujuan mendapatkan ‘intima’, akan tetapi karena ikhlas tulus untuk Allah swt, dan dalam rangka melaksanakan hadits Rasulullah saw: Sungguh, Allah swt memberikan hidayah kepada satu orang lantaran kamu, itu lebih baik bagimu daripada unta merah (Muttafaqun ‘alaih).

Allahumma Aaaamin

Maktab Tarbiyyah, MSM UK & Eire