Sayyid Qutub… Syahidnya seorang Mujahid

Leave a comment

 

29 Ogos 2010 genaplah 44 tahun Allah Yarham Sayyid Qutub syahid di tali gantung. Beliau dibunuh pada pagi hari isnin 29 Ogos 1966.

Seorang daripada dua anggota tentera yang ditugaskan menjaga al-marhum menceritakan pengalamannya bersama beliau ketika dalam penjara dan pada saat-saat beliau dibunuh.

“Di sana terdapat beberapa perkara yang tidak dapat kami gambarkan telah menyebabkan berlakunya perubahan secara menyeluruh dalam hidup kami. Di dalam penjara al-Harbi, setiap malam kami menerima beberapa orang individu atau sekumpulan orang dewasa, anak-anak muda dan wanita-wanita. Kami diberitahu bahawa mereka ini adalah para pengkhianat yang berkerjasama dengan Yahudi! Kita mesti membongkar rahsia mereka. Dan untuk tujuan itu tiada jalan lain kecuali dengan mengenakan siksaan yang paling maksimum.

Pukul mereka dengan menggunakan pelbagai jenis tali dan tongkat yang boleh mencarik robekkan daging-daging mereka!

Kami laksanakan arahan itu dengan keyakinan bahawa kami sedang menjalankan tugas kami yang mulia. Namun tidak berapa lama kami rasa diri kami sedang berhadapan dengan sesuatu yang tidak dapat kami tafsirkan. Kami melihat para ‘pengkhianat’ ini begitu bersungguh-sungguh menjaga solat di waktu malam. Lidah mereka hampir tidak putus menyebut Nama Allah sehinggakan pada waktu mereka didera. Bahkan terdapat di kalangan mereka yang mati dibelasah dengan tongkat atau diterkam anjing yang ganas, namun begitu mereka tetap kelihatan tenang, bibir mereka mengukir senyuman sambil menyebut-menyebut Nama Allah.

Dari situ, perasaan ragu mula menyelinap ke dalam hati kami. Tidak masuk akal orang-orang yang beriman seperti ini, yang sentiasa berzikir menjadi pengkhianat dan bersekongkol dengan musuh Allah. Saya bersepakat dengan rakan setugas saya secara senyap-senyap untuk mengelak daripada menyiksa mereka ini sadaya mampu kami dan memberikan apa saja pertulungan yang terdaya oleh kami.

Dan dengan rahmat Allah serta kurnia-Nya tempoh kami ditugaskan dipenjara itu tidak lama. Tugas kami yang terakhir ialah mengawal sel seorang tahanan yang diasingkan dari yang lain. Mereka memberitahu kami bahawa tahanan yang seorang ini adalah yang paling berbahaya, atau dia adalah ketua mereka! Dialah yang merancang dan mengaturnya. Dia disiksa dengan teruk sehingga tidak mampu untuk bangun. Mereka terpaksa mengangkat dan memapahnya ke Mahkamah Tentera yang memutuskan hukuman mati ke atasnya.

Malam terakhir sebelum dilaksanakan hukuman mati ke atasnya, mereka membawa masuk ke selnya seorang syeikh supaya memberi nasihat dan peringatan kepadanya. Keesokan harinya, pagi-pagi lagi saya dan rakan setugas saya memegang tangan dan memimpinnya menaiki sebuah kereta. Di dalamnya terdapat beberapa orang yang dikenakan hukuman yang sama dengannya. Di belakang kereta yang kami naiki terdapat beberapa buah trak tentera lengkap bersenjata konon untuk mengawal mereka.

Di pelantar tempat pelaksanaan hukuman gantung tersedia tali-tali sebanyak individu yang dikenakan hukuman. Di sisi setiap tali berdiri seorang tentera menggalas senjata masing-masing dan seorang petugas yang siap sedia menunggu arahan melaksanakan perintah menjerut leher mangsa.

Apa yang mengkagumkan saya ialah kalimah-kalimah yang dihamburkan oleh oleh mereka yang berhadapan dengan kematian kepada kawan-kawan yang senasib dengan mereka. Mereka saling mengucap tahniah, memberi khabar gembira akan bertemu di syurga yang abadi di samping Muhammad serta sahabat-sahabatnya. Dan mereka akhiri percakapan dengan kalimah mereka yang terakhir: الله أكبر ولله الحمد

Pada saat yang penuh debaran ini, tiba-tiba terdengar deru kereta menghampiri kemudian berhenti. Sebentar kemudian keluarlah dari kereta itu seorang yang berpangkat besar lalu menghampiri tahanan yang saya jaga.

Dia memerintahkan supaya penutup mata tahana itu dibuka dan tali yang mengikat lehernya ditanggalkan.

Kemudian dia berkata dengan nada sombong:
Wahai saudaraku, wahai Sayyid! Aku datang kepadamu membawa hadiah kehidupan daripada Tuan Presiden yang sangat pengasih dan penyayang. Dia hanya meminta kamu tandatangani satu perkataan sahaja. Lepas itu kamu boleh minta apa saja yang kamu mahu untuk dirimu dan saudara-saudaramu itu!
Tanpa menunggu jawapan daripada Sayyid, pegawai berpangkat tinggi itu membuka buku catatan yang ada di tangannya seraya berkata: Ya akhi, kamu tulis di sini ayat ‘sesungguhnya aku mengaku salah dan aku memohon maaf’.

Sayyid mengangkat kedua-dua matanya yang jernih. Di wajahnya terpancar senyuman manis yang tidak mampu kami sifatkan. Dengan tenang yang menakjubkan dia berkata kepada pegawai berpangkat tinggi itu:
“Selama-lamanya tidak mungkin! Aku tidak akan membeli kehidupan yang sementara ini dengan dusta yang tidak akan terpadam selama-lamanya!”

Pegawai itu menjawab dengan nada sebak yang dibuat-buat: “Tapi kamu akan mati Sayyid…”

Sayyid menjawab: “Marhaban (selamat datang) kepada mati di jalan Allah…!”

Dan tiada lagi ruang bicara. Pegawai mengarahkan agar hukuman segera dilaksanakan.

Maka terkulailah jasad Sayyid serta saudara-saudaranya di tali gantung. Di bibir mereka terpantul kalimah yang tidak mampu kami lupakan selama-lamanya: لا إله إلا الله محمد رسول الله

Posted by Maznah Daud at 9:28 PM 0 comments
http://zaadut-taqwa.blogspot.com/2010/09/syahidnya-seorang-mujahid.html

Jazakumullahu khairan kathira

Kewajiban Kita Menyelamatkan Al-Aqsha dan Mengembalikan Palestina

1 Comment

Risalah dari DR. Muhammad Badi’, Mursyid Am Ikhwanul Muslimin, 18-03-2010 (http://www.al-ikhwan.net/kewajiban-kita-menyelamatkan-al-aqsha-dan-mengembalikan-palestina-3612/?utm_source=feedburner&utm_medium=feed&utm_campaign=Feed%3A+al-ikhwan+%28Al-Ikhwan.net%29) 

Segala puji hanya milik Allah, salawat dan salam atas Rasulullah saw beserta keluarga dan sahabatnya serta orang-orang yang mendukungnya..

Sesungguhnya masjid Al-Aqsha adalah kiblat pertama (Umat Islam), masjid suci ketiga dan tempat Isra Rasulullah saw. Dari sana juga Mi’raj beliau ke langit-langit tertinggi. Palestina adalah titipan Nabi Muhammad kepada kita, amanat Umar di tanggungan kita, perjanjian Islam di pundak kita. Karenanya, Palestina dan Al-Quds (Israel menyebutnya Jerusalem) adalah bagian dari akidah umat Islam. keteledoran dalam hal tersebut adalah keteledoran dalam menerapkan kitab Allah dan warisan Rasulullah dan para nabi-nabi lainnya, budaya umat dan akidahnya. Melepaskan sebagiannya kepada yahudi atau kepada lainnya, atau bahkan hanya sekedar mengakui hak selain orang Islam di dalamnya, maka hal itu larangan keras sebab ia bukan milik individu, kelompok atau Negara karena ia telah ditaklukkan oleh kaum muslimin dan Allah menetapkannya untuk kita di dalamnya.

Untuk itu, kewajiban setiap Muslim – Arab atau selainnya – adalah berjihad dengan kemampuannya untuk membersihkan api penjajah dari sana, mengembalikan dari tangan penggasap zionis kepada warganya yang terusir, dan membebaskan para pejuangnya yang tertawan di penjara Israel. Jika kita tidak melakukannya, maka kaum Muslimin semuanya berdosa dan merugi. Bahkan mereka akan mengalami gilirannya seperti yang dialami saudara mereka di Palestina.

Tidak ada Jalan untuk Mengamblikan Hak Kecuali dengan Jihad

Ketahuilah wahai kaum muslimin bahwa jihad adalah kewajiban yang tetap bertahan hingga hari kiamat. Jihad adalah puncak kemegahan Islam, tingkatan pertama dalam jihad adalah mengingkari kondisi ini dalam hati dan tingkatan paling tinggi adalah berperang di jalan Allah. Di antara dua tingkatan terendah dan tertinggi itu adalah “jihad lisan, tulisan dan tangan” dan menyampaikan kebenaran kepada pemimpin yang dlalim. Umat tidak akan hidup, sebuah Negara tidak akan bangkit, hak-hak tidak akan kembali, tanah, harga diri dan harta tidak akan bisa dijaga, kecuali dengan jihad di jalan Allah.

وَجَاهِدُوا فِي اللهِ حَقَّ جِهَادِهِ

“Dan berjihadlah di jalan Allah dengan sebenar-benar jihad.” (Al-Hajj: 78)

﴿إِنَّ اللهَ اشْتَرَى مِنْ الْمُؤْمِنِينَ أَنفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمْ الْجَنَّةَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ وَعْدًا عَلَيْهِ حَقًّا فِي التَّوْرَاةِ وَالإِنجِيلِ وَالْقُرْآنِ وَمَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ مِنْ اللهِ فَاسْتَبْشِرُوا بِبَيْعِكُمْ الَّذِي بَايَعْتُمْ بِهِ وَذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu’min diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Qur’an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.” (At-Taubah (9):111)

Jika kalian, dengan iman kalian, kalian telah menjual kepada Allah diri kalian dan harta kalian, maka saat inilah waktunya untuk mengerahkan dan menyerahkan diri dan harta itu. Maka penuhilah janji Allah, Dia akan memenuhi janji kalian.

Ketahuilah, tidaklah sebuah umat meninggalkan (berlepas diri) dari jihad kecuali Allah akan menyiksanya dan menghinakannya.

﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَا لَكُمْ إِذَا قِيلَ لَكُمْ انفِرُوا فِي سَبِيلِ اللهِ اثَّاقَلْتُمْ إِلَى الأَرْضِ أَرَضِيتُمْ بِالْحَيَاةِ الدُّنْيَا مِنْ الآخِرَةِ فَمَا مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فِي الآخِرَةِ إِلاَّ قَلِيلٌ . إِلاَّ تَنفِرُوا يُعَذِّبْكُمْ عَذَابًا أَلِيمًا وَيَسْتَبْدِلْ قَوْمًا غَيْرَكُمْ وَلا تَضُرُّوهُ شَيْئًا وَاللهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

“Hai orang-orang yang beriman, Apakah sebabnya bila dikatakan kepadamu: “Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah” kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) diakhirat hanyalah sedikit. Jika kamu tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah menyiksa kamu dengan siksa yang pedih dan digantinya (kamu) dengan kaum yang lain, dan kamu tidak akan dapat memberi kemudharatan kepada-Nya sedikitpun. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (At-Taubah: 38-39)

وعَنْ اِبْن عُمَر قَالَ: سَمِعْت رَسُول اللَّه صلى الله عليه وسلم يَقُول: “إِذَا ضَنَّ النَّاس بِالدِّينَارِ وَالدِّرْهَم، وَتَبَايَعُوا بِالْعِينَةِ، وَاتَّبَعُوا أَذْنَاب الْبَقَر، وَتَرَكُوا الْجِهَاد فِي سَبِيل اللَّه؛ أَنْزَلَ اللَّه بِهِمْ بَلاَء، فَلاَ يَرْفَعهُ عَنْهُمْ حَتَّى يُرَاجِعُوا دِينهمْ”

Dari Ibnu Umar, ia berkata, “Saya mendengar Rasulullah saw bersabda, “Jika manusia puas dengan dinar dan dirham, mereka berjual dengan iiah () bekerja menggembala sapi, dan meninggalkan jihad di jalan Allah, maka Allah akan menurunkan bala, maka bala itu tidak akan diangkat dari mereka sampai mereka kembali kepada agama mereka,” (Abu Daud dengan sanad shahih).

Wahai umat Muslim

Sesungguhnya jalan kita satu-satunya menghadang serangan brutal terhadap tanah air kita, jalan satu-satunya mengembalikan harga diri dan kemuliaan kita tidak lain adalah dengan mengerahkan jiwa, harta, waktu dan hidup, dan segala hal untuk mencapai tujuan mulia kita, yaitu; menjaga agama dan negeri dan mengembalikan hak yang terampas. Itu adalah tujuan yang dijaga oleh semua agama samawi, dan dilindungi oleh undang-undang dan konvensi internasional, termasuk PBB.

Ketahuilah wahai kaum muslimin, sesungguhnya kekuatan yang dibutuhkan oleh jihad lahir dari kebenaran niat kalian, kekuatan iman kalian, kesolidan akhlak kalian, kekuatan persatuan kalian sebagaimana bangunan yang kokoh.

إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِهِ صَفًّا كَأَنَّهُمْ بُنيَانٌ مَرْصُوصٌ

“Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.” (As-Shaf:4)

عَنْ أَبِي مُوسَى رضي الله عنه عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: “الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا- وَشَبَّكَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ

Dari Abu Musa Al-Asyari ra, dari Nabi saw, ia berkata, “Orang mukmin dengan mukmin lainnya laksana bangunan yang satu bagian dengan bagian lainnya saling menguatkan – Rasulullah merangkai jari-jarinya,” (Bukhari)

وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ

“dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi”  (An-Anfal: 60)

Seorang mukmin pantang masuk lubang yang sama dua kali

Wahai pemimpin Arab dan Negara-negara muslim

Sesungguhnya seorang mukmin pantang masuk lubang yang sama dua kali. Namun sayang orang-orang zionis dan Amerika memperosokkan kalian ke dalam lobang yang sama berkali-kali. Kalian tidak mengambil pelajaran. Musuh-musuh kalian menipu kalian, sebagaimana menipu orang- orang sebelum kalian. Mereka mengundang kalian makan-makan, dan kalian penuhi undangan itu. Padahal mereka melihat itu semua hanya basa-basa. Semakin hari mereka semakin arogan dan menjadi-jadi, semakin berbuat kerusakan, semakin semena-mena, dan memblokade sebuah bangsa yang mengalami kepedihan selama satu abad. Bahkan mereka tidak malu memberikan kepada kalian tali untuk menjerat leher saudara-saudara kalian sendiri. Mereka tidak segan-segan memberikan anak panah kepada kalian untuk kalian tancapkan di leher saudara kalian sebangsa dan seakidah. Lebih dari itu, mereka membangun bendungan yang melindungi bangsa yahudi. Sungguh buruk dosa kalian dan perbuatan kalian.

وَاللهُ غَالِبٌ عَلَى أَمْرِهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ

“Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya.” (Yusuf: 21)

Wahai pemimpin dan umat Islam

Ketahuilah bahwa perdamaian yang mereka (musuh kalian) inginkan di Timur Tengah adalah agar bangsa Arab menutup mata dari darah saudara mereka (Palestina) yang tertumpah, agar telinga bangsa Arab tuli dari jeritan para janda dan anak yatim yang memilukan setiap hari, agar bangsa Arab melupakan jutaan pengungsi yang diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar. Perdamaian yang menuntut agar kita melupakan puluhan ribu tawanan di penjara Israel. Padahal dunia bergunjang hanya karena jeritan satu serdadu Israel Shalit yang ditawan pejuang Palestina dan seluruh dunia berusaha membebaskannya. Sementara mereka tidak peduli dengan tawanan kita. Tidak ada seorang pun muslim di dunia ini yang berusaha membebaskan tawanan Palestina di penjara Israel. Fatamorgana perdamaian menginginkan kita agar melepaskan diri dari harga diri dan kehormatan kita sebagai bangsa yang dirampas sebagian tanah airnya dengan peluru dan api untuk didirikan di atasnya Negara yang sadis di atas puing-puing jasad kaum yang tidak bersalah dan darah orang mulian dan kehormatan yang dilanggar.

Demi Allah, beritahu saya, apa yang sudah kalian ambil dari perundingan selama 60 tahun? Apakah dengan perundingan itu Israel menghentikan agresi ke negeri-negeri dan pemerintahan yang menjadi maian boneka Israel dan Amerika? Bahkan mereka (boneka) ingin menangkap semua orang yang ingin menolong saudara mereka di Palestina, memenjarakan semua yang memberikan bantuan kepada saudara mereka di Palestina.

Wahai pemimpin Arab dan umat Islam

Cukup pengalaman perundingan damai kalian dengan Israel. Ketahuilah bahwa mereka berundingan bukan untuk mengembalikan sesuatu yang sudah mereka rampas dan mereka jajah. Tapi itu mereka lakukan agar kalian memberikan cap resmi bahwa mereka berhak atas sebagian yang mereka rampas dari kalian. Setelah itu mereka akan melanjutkan aksi penjarahan itu. Sampai mereka bisa mendirikan Negara mereka dari sungai Nil hingga sungai Efrat. Keputusan PBB mengakui Israel adalah keputusan dari badan yang memiliki wewenang untuk memberikan sesuatu kepada Israel. Itu adalah keputusan batil dan dzalim, tidak benar dan tidak adil. Palestina adalah milik bangsa Arab dan umat Islam. Mereka sudah mengerahkan jiwa berharga, darah yang suci, dan dengan izin Allah ia akan tetap menjadi milik bangsa Arab dan umat Islam dan tidak ada satupun yang mencerabutnya.

Wahai umat Islam

Sesunggunya kewajiban kita sebagai umat Islam terhadap Palestina dan peran kita dalam membela sangatlah penting.

1. Kewajiban pertama kita adalah meluruskan niat kita, memperbarui iman kita, mengikatkan diri kita kepada Allah, meminta pertolongan kepada-Nya, bertawakal kepada-Nya di setiap amal dan jihad serta pengorbanan kita, kemudian meyakini bahwa jihad adalah puncak dari tingkatan Islam dan di sanalah harga diri dan kemuliaan kita.

2. Setiap keluarga muslim harus menanamkan dalam hatinya dan hati anak-anaknya bahwa masalah utamanya, cita-citanya yang terbesar, yang paling menyibukkannya, mengajarkan anak-anaknya tentang Palestina, mereka harus dididik sejak dalam kandungan cinta kepada Allah, Rasul-Nya, cinta jihad di jalan Allah. Mengajarkan kepada mereka bahwa cinta kepada Palestina dan masjid Al-Aqsha adalah bagian dari iman. Mereka harus diajarkan bahwa tidak ada persamaan antara jihad dan terorisme, dan bahwa jihad adalah perngorbanan untuk mengembalikan hak yang terampas, membela kehormatan dan mengusir penjajah sehingga kalimat Allah menjadi yang tertinggi. Mereka harus diajarkan bahwa terorisme adalah penjajahan terhadap negeri orang lain, merampas paksa kekayaan alam negeri lain, mengusir warganya yang aman, mengalirkan darah orang-orang yang bersalah, wanita dan anak-anak dari negeri mereka.

3. Wajib membantu dan mendukung bangsa yang terisolasi dengan segala kemampuan setiap masing-masing muslim. Dulu Ikhwanul Muslimin menyebutnya aksi “1 Qirsy (jenis mata uang Mesir dulu) untuk Palestina” hari ini setiap muslim harus menyisihkan sebagian hartanya untuk membantu saudara mereka di Palestina yang terisolir namun dengan nama “1 Junaih (mata uang Mesir sekarang) Palestina setiap bulan minimal atau lebih. Harus melatih anak-anak untuk menyisihkan uang sakunya untuk mendukung anak-anak dan anak yatim Palestina yang terusir.

4. Barangsiapa yang tidak mampu berjihad dengan harta maka kewajibannya adalah dengan memenuhi hatinya dengan cinta kepada para mujahidin, cinta melihat keadilan kepada sebuah bangsa, kewajiban menolong mereka, mendorong manusia untuk berinfak demi mereka, harus bangun malam dengan berdoa di tengah malam dengan segenap hati yang perih agar Allah mengangkap penderitaan mereka dan ditolong Allah. Sebab panah di tengah malam sangat tepat dan tidak akan salah bidikan.

لَيْسَ عَلَى الضُّعَفَاءِ وَلا عَلَى الْمَرْضَى وَلا عَلَى الَّذِينَ لا يَجِدُونَ مَا يُنْفِقُونَ حَرَجٌ إِذَا نَصَحُوا لِلَّهِ وَرَسُولِهِ مَا عَلَى الْمُحْسِنِينَ مِنْ سَبِيلٍ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Tiada dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah, orang-orang yang sakit dan atas orang-orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka Berlaku ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya. tidak ada jalan sedikitpun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,” (At-Taubah: 91)

5. Ikut serta dalam aksi massa dan aksi solidaritas mendukung bangsa Palestina yang terisolasi dan mereka yang membela masjid Al-Aqsha dan tempat suci lainnya.

6. Mengontak saudara-saudara kita di Palestina dengan telepon atau melalui jejaring informasi untuk mendukung mereka dan memberikan segala dukung yang diperlukan untuk menghadapi musuh sembari berdoa.

Wahai ulama umat dan pimpinannya

Sesungguhnya menjaga Al-Aqsha dan mengembalikan Palestina tergantung di pundak kalian, ia menjadi wajib ain atas kalian. Kalian adalah pembawa risalah. Maka kewajiban paling besar kalian adalah menjelaskan kepada umat soal peran mereka dalam membela Palestina, mengembalikan masjid Al-Aqsha dari tangan zionis dan memerdekakannya.

Dulu orang-orang Al-Azhar jika menyampaikan satu kata kebenaran maka seluruh penjuru dunia akan menyambutnya, jika menyerukan jihad maka orang yang dekat dan jauh dari kalangan orang Islam di barat dan di timur akan menyambutnya. Dulu orang-orang Perancis mengatakan bahwa perlawanan tidak akan padam kecuali dengan menghabisi Al-Azhar maka mereka memasuki kampus itu dengan kuda-kuda mereka dan melakukan kerusakan, namun ketika pimpinan mereka terbunuh, mereka kocar-kacir.

Sesungguhnya kewajiban kalian adalah bekerja untuk menegakkan timbangan keadilan, memperbaiki urusan manusia, menolong yang dlalim, memberikan sanksi kepada orang dlalim.

عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “أفضل الجهاد كلمة حق عند سلطان أو أمير جائر

Dari Abu Said Al-Khudlri dari Nabi saw beliau bersabda, “Sebaik-baik jihad adalah menyampaikan kata-kata kebenaran di depan penguasa atau pemimpin yang dlalim,” (Abu Daud).

وعن جابر رضي الله عنه: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “سيد الشهداء حمزة بن عبد المطلب، ورجل قام إلى إمام جائر فأمره ونهاه فقتله

Dari Jabir ra, Rasulullah saw bersabda, “Pemimpin para syuhada adalah Hamzah bin Abdul Mutalib dan seorang laki-laki yang bangkit di hadapan pemimpin yang dlalim untuk amar makruf nahi munkar, maka ia dibunuh oleh pemimpin itu,” (Ibnu Majah dengan sanad Shahih).

Wahai lembaga sipil

Negeri adalah hak semua. Semua negeri yang dimasuki oleh Islam adalah negeri Islam. Palestina dan Al-Aqsha adalah amanat di pundak kita semua. Sehingga dari sana semua pihak harus bekerja membelanya sesuai dengan tanggungjawabnya. Itu sesuai dengan apa yang disebutkan dalam hadits riwayat Abdullah bin Umar ra, ia berkata; saya mendengar Rasulullah bersabda,

: “كُلُّكُمْ رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْئولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، الإِمَامُ رَاعٍ مَسْئولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهْوَ مَسْئولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا مَسْئولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا، وَالْخَادِمُ رَاعٍ فِي مَالِ سَيِّدِهِ مَسْئولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ- قَالَ وَحَسِبْتُ أَنْ قَدْ قَالَ- وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي مَالِ أَبِيهِ مَسْئولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَكُلُّكُمْ رَاعٍ مَسْئولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian bertanggungjawab atas yang dipimpinnya. Seorang imam adalah pemimpin dan bertanggungjawab atas rakyatnya. Seorang laki-laki adalah pemimpin di keluarganya dan bertanggungjawab atas yang dipimpinnya. Seorang perempuan adalah pemimpin di rumah suaminya dan bertanggungjawab atas yang dipimpinnya. Seorang pembantu adalah pemimpin bagi harta majikannya dan ia bertanggungjawab atas apa yang dipimpinnya.” Abdullah bin Umar mengatakan; saya kira beliau juga mengatakan, “Seorang laki-laki adalah pemimpin terhadap harta orang tuanya dan bertanggungjawab atas apa yang dipimpinnya,” (Bukhari Muslim).

Guru di kampus, sekolah, direktur perusahaan, pejabat asosiasi, media massa elektronik, radio, semuanya dituntut untuk membela Palestina dan warganya. Menyadarkan semua kelompok masyarakat tentang kewajiban mereka terhadap Palestina, membongkar rencana-rencana jahat Israel dan Amerika.

Sungguh aneh dunia berperadaban saat ini!! Ketika patung budha dihancurkan, dunia bangkit, semua pemimpin, raja-raja dan pakar dan semua media massa mengecam aksi itu. Namun ketika masjid Ibrahim dan masjid Bilal dicatutu dalam warisan yahudi, dan Al-Aqsha dirubuhkan pelan-pelan dengan cara menggali terowongan di bawahnya, Al-Quds di yahudisasikan, semuanya diam ketakutan. Tak ada bisik meski kejahatan itu begitu besar.

Wahai semua pembela kebebeasan

Kini saatnya para pembela kebenaran dari seluru agama di seluruh dunia untuk berkata satu kata kebenaran dan menuntut agar hak yang dirampas harus dikembalikan kepada pemiliknya.

Mereka mendeklarasikan bahwa tidak keamanan bagi anak-anak kita dan keturunan kita selama masih ada sebuah bangsa yang diusir dari negerinya dan ada bangsa lain dari negeri lain menjajahnya, selama masih ada bangsa yang dihalangi dari tempat sucinya dan ada bangsa lainnya menghancurkan dan merusaka di masjid-masjid dan tempat suci.

Kita sudah saatnya kalian para pembela kebebasan dan harga dirinya, wahai kaum muslimin, wahai bansga Arab setelah seabad berlalu, hentikan air mata anak-anak dan yatim serta janda untuk, bebaskan para tahanan Palestina, kembalikan hak yang dirampas kepada pemiliknya, kembalikan warga terusir dan pengungsi ke negeri mereka, potong kuku-kuku dan taring panjang Israel sehingga dunia menjadi aman dan stabil serta perdamaian terwujud.

Wahai keluarga kami di Palestina

Allah pasti akan mengokohkan kaki-kaki kalian, mengingat hati kalian, melimpahkan kebaikan dan kekayannya, diturunkan pasukan dan kalian ditolong. Kami bersama kalian dengan semua yang kami miliki, kami tidak akan melepaskan kalian meski dengan segala perjuangan.

﴿وَلا تَهِنُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَنْتُمُ الْأَعْلَوْنَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ . إِنْ يَمْسَسْكُمْ قَرْحٌ فَقَدْ مَسَّ الْقَوْمَ قَرْحٌ مِثْلُهُ وَتِلْكَ الْأَيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا وَيَتَّخِذَ مِنْكُمْ شُهَدَاءَ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ . وَلِيُمَحِّصَ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا وَيَمْحَقَ الْكَافِرِينَ

“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, Padahal kamulah orang-orang yang paling Tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman. jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, Maka Sesungguhnya kaum (kafir) itupun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada’[1]. dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim, dan agar Allah membersihkan orang-orang yang beriman (dari dosa mereka) dan membinasakan orang-orang yang kafir.”

[1] Syuhada’ di sini ialah orang-orang Islam yang gugur di dalam peperangan untuk menegakkan agama Allah. sebagian ahli tafsir ada yang mengartikannya dengan menjadi saksi atas manusia sebagai tersebut dalam ayat 143 surat Al Baqarah.

Allah Maha Besar dan segala puji untuk Allah. (Sumber info Palestina)

Perutusan Sempena Maulidur Rasul 1431H

Leave a comment

mr

Apa Ertinya Menyambut Maulidur-Rasul

Ikhwah dan akhawat fillah,

Pada bulan Rabiul-Awal ini kita menyambut suatu hari yang bersejarah dan sentiasa dalam kenangan setiap Muslim di seluruh dunia. Bulan ini adalah merupakan bulan kelahiran Nabi kita Muhammad (salallahu ‘alaihi wasalam). Dengan kasih dan belas Allah Taala, Islam yang kita meng’akadkan diri kita kepadanya sehingga terkesan dan menerobos ke dalam hati-hati kita, sampai kepada kita melalui Muhammad (salallahu ‘alaihi wasalam). Maka tidak hairanlah betapa seluruh Muslim cinta kepadanya kerana budinya tidak akan dapat berbalas sehingga ke akhir zaman walau seluruh umat Islam bergabung untuk berbuat demikian. Wajarlah kita mengucapkan salallahu ‘alaihi wasalam setiap kali namanya disebut sebagai penghormatan, tanda kasih dan terima kasih yang tidak terhingga, tapi lebih-lebih lagi ia adalah suatu sunnah.

Kecintaan terhadap Muhammad (salallahu ‘alaihi wasalam) akan lebih mengembang mekar dan mewangi apabila kita membaca dan menghayati Al-Quran, As-Sunnah dan Seerah. Pernah Umar (radhiallahu ‘anhu) terpaksa berfikir dan mendalami hatinya semula ketika menjawab dia mencintai dirinya selepas Allah Taala, dikoreksi dengan penuh rasa kasih sayang oleh Muhammad (salallahu ‘alaihi wasalam) yang mana selepas Allah Taala, Muhammad (salallahu ‘alaihi wasalam) lah yang seharusnya dicintai. Yang mana ia adalah konsep iman sepertimana kita tahu.

Apabilah cinta yang meruntun jiwa dan raga ini telah bersulam maka mudahlah kita mengikuti jejak langkahnya sebagai manusia contoh, qudwah hasanah. Allah berfirman di dalam surah Al-Ahzab:21 yang bermaksud:

“Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik (uswah hasanah) bagimu (iaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah”

Dan apabila Aishah (radhiallahu’anha) ditanya akan akhlaq Muhammad (salallahu ‘alaihi wasalam), Aishah (radhiallahu ‘anha) pantas menjawab dengan jawapan ringkas, padat dan jitu, akhlaq Muhammad (salallahu ‘alaihi wasalam) adalah “Al-Quran”.

Jika kita mengambil perkaitan ini dan menjadikan ia suatu deduksi matematik, kita akan dapati:

“uswah hasanah = akhlaq = Al-Quran”

Muhammad (salallahu ‘alaihi wasalam) adalah seharusnya menjadi ikutan kita, setiap kata-katanya, perbuatan dan gerak gerinya adalah contoh buat umat akhir zaman untuk diteladani. Segala aspek akhlaqnya, sebagai pemimpin, ahli masyarakat, suami, ayah, datuk, anak saudara, sahabat, orang yang lebih tua, orang yang lebih muda, interaksi dengan bukan Islam bahkan musuh Islam sendiri. Dan landas fundamental yang utama untuk semua ini tidak lain adalah Al-Quranul-Kareem!

Ikhwah dan akhawat fillah, (sila rujuk Tafsir ayat-ayat pilihan: Sayyid Qutb)

Muhammad (salallahu ‘alaihi wasalam) tidak dilahirkan sebagai pendidik atau penasihat yang boleh diterima atau ditolak didikan dan nasihatnya. Malah sebaliknya, Muhammad Rasulullah (salallahu ‘alaihi wasalam) diutuskan supaya dita’ati dengan izin Allah Taala.

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul melainkan untuk dita’ati dengan izin Allah…” (An-Nisaa: 64)

Hakikat ini mempunyai makna yang sangat penting, Muhammad (salallahu ‘alaihi wasalam) bukan sekadar penggerak kesedaran hati nurani dan kemudian melaksanakan syi’ar-syi’ar ibadat, atau pemberi peringatan dan nasihat dan kemudian berlalu pergi tanpa mempunyai kuasa otoriti terhadap seruan dan risalahnya. Tiada seorang pun Rasul diutuskan Allah melainkan semuanya harus di”ta’ati” oleh manusia dengan keizinanNya. Jika tiada kuasa otoriti ini, tinggallah ia sebagai seruan yang biasa dan boleh dipersendakan dan dipermain-mainkan. Tidak sama sekali!

Kerasulan ini mempunyai “kuasa” supaya Muhammad (salallahu ‘alaihi wasalam) dita’ati bagi membolehkan ad-Deen diterap dan dicernakan oleh manusia, sebagai sebuah sistem yang hidup dan realistik, lengkap dengan segala bentuk organisasinya, perancangan dan penyusunan programnya, nilai estetika dan undang-undangnya, akhlaq dan adab bicaranya dan syi’ar-syi’arnya.

Dari sinilah sejarah Islam yang kita tahu hari ini telah terpahat dan masyhur. Melalui keta’atan terhadap Muhammad Rasulullah (salallahu ‘alaihi wasalam), umat Islam telah berkembang sebagai suatu organisasi dakwah dan tabligh, dan sebagai suatu sistem hidup, kemudian sebagai suatu bentuk pemerintahan dan seterusnya kekhalifahan. Segalanya berlandaskan keta’atan terhadap Risalah dan Muhammad (salallahu ‘alaihi wasalam) sebagai Rasul Allah.

Ikhwah dan akhawat fillah,

Tanggungjawab manusia terhadap tuhannya adalah seperti yang telah digariskan oleh rukun iman dan Islam, akan tetapi tanggungjawab manusia terhadap manusia yang lain seperti yang telah ditunjukkan oleh Muhammad (salallahu ‘alaihi wasalam) adalah untuk berinteraksi dan berdakwah kepada masyarakat supaya Islam tersebar dan gemilang. Ini adalah Sunnah yang sering dilupakan. Bukankah Muhammad (salallahu ‘alaihi wasalam) itu rahmatan lil ‘Alameen, dan kita sebagai umat ikutannya harus juga begitu?

“Dan Kami tidak mengutuskan engkau melainkan untuk rahmat seluruh alam.” (al-Anbiyaa:107)

Kita bukan hidup di dalam vakuum atau di alam sendiri dan kemudian mengharapkan Jannah. Ikhwah wa akhawat itu bukan Sunnahnya, kita membuat kebaikan dan perbaikan di dalam diri kita dan masyarakat dan dalam masa yang sama kita mencegah maksiat dan dosa di dalam diri kita juga di dalam masyarakat. Ia seharusnya berjalan secara parallel bukan berasingan. Kerana kita adalah umat yang terbaik!

“Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (kerana kamu) menyuruh yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.” (Ali-Imran: 110)

Ikhwah dan akhawat fillah,

Marilah kita bersama-sama menelusuri jejak Muhammad (salallahu ‘alaihi wasalam). Menjaga akhlaq sesama kita demi menegakkan kalimah Allah di muka bumi ini sepertimana akhlaq Muhammad (salallahu ‘alaihi wasalam). Inilah penghayatan yang dianjurkan MSM setiap kali Rabiul-Awal menjelang.

Allah (subhana wa ta’ala) sangat menganjurkan kita berselawat, insya-Allah marilah kita berselawat bersama-sama:

“Sesungguhnya Allah dan para malaikatNya berselawat ke atas Nabi. Wahai orang-orang yang beriman! Berselawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan padanya.” (Al-Ahzab: 56)

“Allahumma shalli ‘ala sayyidina Muhammad, wa ‘ala aali saiyyidina Muhammad Kama sholaita ‘ala sayyidina Ibraheem, wa ‘ala aali sayyidina Ibraheem Allahumma barik ‘ala sayyidina Muhammad, wa ’ala aali sayyidina Muhammad Kama barakta ‘ala sayyidina Ibraheem, wa ‘ala aali sayyidina Ibraheem Fil ‘alameena innaka Hameedun-Majeed.”

Uhibbukum fillah.
Wakil Qiyadah
MSM2009/10

Generasi Al-Quran Yang Unik

Leave a comment

Dakwah Islamiyah telah pun melahirkan satu generasi manusia, generasi sahabat Rasulullah SAW, Ridhwanullahi alaihim, iaitu suatu generasi yang paling istimewa di dalam sejarah Islam dan di dalam sejarah kemanusiaan seluruhnya. Generasi itu tidak pemah muncul dan timbul lagi sesudah itu, walaupun terdapat juga beberapa peribadi dan tokoh tertentu di sepanjang sejarah, tetapi tidaklah lahir lagi segolongan besar manusia, di satu tempat yang tertentu pula, seperti yang telah muncul dan timbul di dalam peringkat pertama dari penghidupan dakwah ini.

Ini adalah satu fakta dan kenyataan yang terang dan memanglah telah berlaku, mempunyai maksud-maksud tertentu yang perlu kita perhatikan dan sayugia kita merenungnya bersungguh-sungguh, agar dapat kita menyelami rahsianya.
Al-Quran yang menjadi sumber dakwah ini masih berada bersama-sama kita. Hadis Rasulullah SAW dan petunjuk-petunjuk daripada perjalanan hidup dan sirahnya yang mulia itu juga masih ada di samping kita, seperti juga kedua-duanya telah ada bersama-sama dengan generasi yang terdahulu itu, tidak jejas oleh perjalanan sejarah dan tidak lapuk oleh perkembangan zaman; hanya diri peribadi Rasulullah SAW sahaja yang telah tiada lagi bersama-sama kita sekarang. Adakah ini rahsianya?

Kalaulah masalah wujudnya peribadi Rasulullah SAW itu menjadi syarat mutlak di dalam menegakkan dakwah ini dan kejayaan usaha-usahanya, tentulah Allah SWT tidak menjadikan dakwah ini meliputi seluruh umat manusia dan tidak dijadikannya sebagai perutusan-Nya yang terakhir, serta tidak diserahkan hal ini untuk diurus oleh manusia hingga ke akhir zaman.

Tetapi Allah SWT telah membuat jaminan untuk memelihara Al-Quran, dan telah mengetahui bahawa dakwah ini boleh tegak selepas zaman Rasulullah SAW pun, juga boleh membuahkan hasil yang baik; lalu diwafatkan-Nya Rasulullah SAW setelah 23 tahun beliau menjalankan tugas berdakwah dan menyampaikan perutusan Ilahi dan Allah SWT akan tetap memelihara agamaNya ini hingga ke hari kiamat. Dengan demikian maka ketiadaan diri peribadi Rasulullah SAW itu tidak boleh dijadikan jawapan di atas kegagalan dakwah di zaman ini.

Yang demikian kita perlu selidiki sebab lain yang menjadi punca kegagalan itu. Mari kita lihat kepada sumber pengambilan generasi pertama itu. Mungkin sesuatunya telah berubah. Kemudian kita lihat pula kepada program dan jalan yang telah dilalui mereka, barangkali ada sesuatu yang berlainan dan berbeza.

Sumber pokok yang dicedok oleh generasi pertama itu ialah Al-Quran, hanya Al-Quran sahaja. Hadis Rasulullah SAW dan petunjuk-petunjuk beliau adalah semata-mata merupakan pentafsiran kepada sumber utama itu.

Ketika Assaiyidah `Aiisyah Radhiallahu’ anha ditanya mengenai kelakuan, perangai dan perjalanan hidup Rasulullah SAW maka beliau menjawab: yang bermaksud: “kelakuan dan perjalanan hidup beliau [Rasulullah SAW] itu ialah Al-Quran” – Hadis riwayat Nasai.

Hanya Al-Quran sahajalah yang menjadi sumber panduan mereka, perjalanan hidup dan gerak-geri mereka. Ini bukanlah kerana umat manusia di zaman itu tidak punya tamaddun, tidak punya kebudayaan, tidak punya pelajaran, tidak punya buku karangan dan tidak punya kajian! Sekali lagi tidak! Kerana sebenamya di zaman itu telah pun ada tamaddun dan kebudayaan Romawi, buku-buku dan undang-undangnya, yang telah dan masih diikut dan dijadikan panduan oleh orang-orang Eropah sampai hari ini. Di sana juga telah wujud peninggalan tamaddun Yunani (Greek), ilmu mantiknya, falsafah dan keseniannya, yang juga masih menjadi sumber pemikiran Barat hingga sekarang; malah di sana juga telah wujud tamaddun dan peradaban Parsi, keseniannya, sajaknya, syair dan dongengnya, kepercayaan dan sistem perundangannya, serta tamaddun lain, seperti tamaddun India, China dan lain-lain kebetulan pula kedua-dua tamaddun.

Romawi dan Parsi berada di sekeliling semenanjung Arab, baik di utara mahu pun di selatan, ditambah lagi oleh agama Yahudi dan Nasrani yang telah wujud di tengah-tengah semenanjung itu sejak berapa lama dahulu.

Jadi bukanlah faktor kekurangan tamaddun dan kebudayaan duniawi yang menyebabkan generasi pertama itu mencedok dari Kitab Allah (Al-Quran) sahaja dalam peringkat pertumbuhan mereka, tapi ialah justeru kerana “planning” yang telah ditentukan dan program yang telah diatur. Dalil yang terang atas keadaan ini ialah kemurkaan Rasulullah SAW ketika beliau melihat Sayyidina Umar bin Al-Khattab R.A. ada memegang sehelai kitab Taurat. Melihat keadaan ini beliau pun bersabda: “Demi Allah sekiranya Nabi Musa masih hidup bersama-sama kamu sekarang pun, tidak halal baginya melainkan mesti mengikut ajaranku.” – hadis riwayat AI-hafidz Abu Ya’la dari Hammad dari Asy-sya’bi dari Jabir.

Yang demikian maka dapatlah diambil kesimpulan bahawa Rasulullah SAW, bermaksud dan mengarahkan supaya sumber panduan dan pengajaran generasi pertama itu, dalam peringkat pertumbuhan mereka lagi, hanya terbatas kepada kitab Allah (Al-Quran) sahaja supaya jiwanya melurus ke arah programNya yang tunggal itu; oleh kerana itu beliau murka melihatkan Saydina Umar bin AI-Khattab R.A. cuba mencari panduan daripada sumber yang lain dari Al-Quran itu.Rasulullah SAW bertujuan membentuk satu generasi yang bersih hatinya, bersih pemikirannya, bersih pandangan hidupnya, bersih perasaannya, dan mumi jalan hidupnya dari sebarang unsur yang lain daripada landasan Ilahi yang terkandung dalam Al-Quranul Karim.

Generasi sahabat-sahabat itu menerima panduannya daripada sumber yang tunggal itu sahaja. Oleh kerana itulah generasi itu telah berhasil membentuk sejarah gemilang di zamannya.

Tetapi apakah yang telah terjadi kemudiannya?

Sumber-sumber panduan itu rupanya telah bercampur baur!

Sumber itu telah dimasuki oleh falsafah Yunani (Greek), cara berfikir dan lojikanya, dongeng-dongeng Parsi dan pandangan hidupnya, cerita-cerita Israeliat Yahudi, falsafah Ketuhanan ala-Kristian yang telah bercampur baur di dalam tafsir Al-Quran dan ilmu Al-Kalam, dan juga telah dimasuki oleh saki baki peninggalan tamaddun zaman lampau yang sukar dikikis.

Di samping itu banyak lagi sumber panduan lain yang telah bercampur baur dengan tafsir Al-Quran, ilmu Al-Kalam, ilmu fiqah dan malah ilmu usuluddin juga. Campuran panduan inilah yang telah melahirkan generasi-generasi berikutnya. Oleh kerana itulah maka bentuk generasi pertama iaitu generasi para sahabat Rasulullah SAW, tidak lahir lagi kemudiannya.

Memang tak dapat diragukan lagi bahawa bercampur-baurnya sumber panduan itulah yang menjadi faktor utama mengapa generasi berikutnya berlainan sama sekali dari bentuk generasi pertama yang unggul itu.

Di sana ada satu lagi faktor asasi selain daripada perubahan sumber itu, iaitu berbezanya cara menerima pengajaran antara generasi para sahabat Rasulullah SAW dengan generasi-generasi kemudiannya.

Mereka, iaitu para sahabat Rasulullah di dalam generasi pertama itu tidak mendekatkan diri mereka dengan Al-Quran dengan tujuan mencari pelajaran dan bahan bacaan, bukan juga dengan tujuan mencari hiburan dan penglipur lara. Tiada seorang pun dari mereka yang belajar Al-Quran dengan tujuan menambah bekal dan bahan ilmu semata-mata untuk ilmu dan bukan juga dengan maksud menambah bahan ilmu dan akademi untuk mengisi dada mereka sahaja. Bahkan dia pelajari Al-Quran itu dengan maksud hendak belajar bagaimanakah arahan dan perintah Allah dalam urusan hidup peribadinya dan hidup bermasyarakat, juga urusan hidup mereka sendiri dari hidup masyarakat mereka. Dia belajar untuk dilaksanakan serta merta, seperti seorang perajurit menerima, “arahan harian” atau “ surat pekeliling” bagi dilaksanakan serta merta! Juga tiada seorang pun dari mereka yang mencari pelajaran tambahan atau pun arahan tambahan dalarn satu majlis pengajian atau suatu majlis taklimat sahaja, kerana dia tahu bahawa yang demikian itu akan menambah beratkan tugasnya, malah kadang-kadang dia cukup dengan hanya sepuluh ayat sahaja sehingga dia benar-benar menghafalnya dan dia laksanakan arahan-arahannya seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud R.A.

Perasaan inilah perasaan belajar untuk melaksanakan, yang telah menambah luasnya lapangan hidup mereka, menambah luasnya ma’rifat dan pengalaman mereka dari ajaran Al-Quran itu yang tidak mungkin mereka capai kalau sekadar belajar dari Al-Quran dengan tujuan menyelidik dan mengkaji serta membaca sahaja. Perasaan belajar untuk melaksana¬kan ini jugalah yang telah memudahkan mereka bekerja dan meringankan beban mereka yang berat, kerana Al-Quran telah sebati dan menjadi daging, darah mereka. Perasaan ini jugalah yang menanam Al-Quran ke dalam jiwa mereka hingga ia meresap menjadi panduan dalarn gerakan mereka, ia melahirkan pelajaran yang menggerakkan aktiviti, pelajaran yang tidak lagi merupakan teori yang bersarang di dalarn kepala manusia dan di halaman kertas dan akhbar-akhbar sahaja, bahkan ianya menjadi kenyataan yang melahirkan kesan dan peristiwa yang mengubah garisan hidup.

Al-Quran tidak-akan memberi dan mencurahkan isi perbendaharaannya kecuali kepada orang yang datang bertumpu kepadanya dengan roh dan jiwa ini: iaitu roh dan jiwa ma’rifat yang membuahkan amal dan tindakan. Al-Quran datang bukan sebagai sebuah buku penglipur lara, bukan sebagai sebuah buku sastera, juga bukan sebagai sebuah buku kesenian, sejarah dan novel, malah ia datang untuk dijadikan panduan hidup, panduan Ilahi yang tulen; dan Allah SWf sendiri telah merasmikan Al-Quran ini sebagai garis pemisah di antara hak dan batil.

Firman Allah:
Maksudnya: Dan Al-Quran itu telah Kami bahagi-bahagikan dia agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dengan lambat dan tenang dan Kami menurunkannya dengan beransur-ansur. [Al-Isra’: 106].

AI-Quran ini tidak diturunkan sekaligus, malah ia diturunkan mengikut keperluan-keperluan yang sentiasa berubah, mengikut perkembangan fikiran dan pandangan hidup serta perubahan masyarakat Ia diturunkan mengikut perkembangan masalah praktikal dan fakta kehidupan masyarakat Islam. Ayat demi ayat diturunkan untuk suasana tertentu dan peristiwa khusus dan untuk membongkar isi hati manusia; untuk menggambarkan urusan yang mereka hadapi, dan menggariskan program kerja mereka dalam sesuatu suasana, juga untuk memperbetul kesilapan perasaan dan perjalanan hidup, supaya mereka sentiasa merasa terikat dengan Allah dalam setiap suasana. Ia diturunkan secara beransur-ansur bagi mengajar mereka mengenal Allah SWT melalui sifat-sifatNya dan juga melalui bukti-bukti perkembangan dan perubahan alam. Dengan demikian mereka akan merasakan bahawa diri mereka terus menerus terikat dengan tertakluk kepada Allah SWT, terus menerus di bawah perhatian Ilahi. Pada ketika itu mereka merasakan bahawa mereka sedang hidup di bawah pengawasan Allah SWT secara langsung.

Dasar “belajar untuk melaksanakan terus” itu merupakan faktor utama membentuk generasi pertama dahulu, manakala dasar “belajar untuk, dibuat kajian dan penglipurlara” itulah yang merupakan faktor penting yang melahirkan generasi-generasi kemudiannya. Dan tidak syak lagi bahawa faktor kedua inilah menapakan sebab utama mengapa generasi-generasi yang lain itu berlainan sama sekali dengan generasi pertama, generasi para sahabat Rasulullah SAW.

Di sana ada satu lagi faktor yang mesti diperhati dan dicatat benar-benar.

Seorang yang menganut Islam itu sebenarnya telah melucutkan dari dirinya segala sesuatu dari zaman lampaunya di alam jahiliyah. Dia merasakan ketika dia mula menganut Islam bahawa dia memulakan zaman baru dalam hidupnya; terpisah sejauh-jauhnya dari hidupnya yang lampau di zaman jahiliyah; dan sikapnya terhadap segala sesuatu yang berlaku di zaman jahiliyah dahulu ialah sikap seorang yang sangat berhati-hati dan berwaspada. Dia merasakan bahawa segala sesuatu di zaman jahiliyah dahulu adalah kotor dan tidak sesuai dengan ajaran Islam. Dengan perasaan inilah dia menerima hidayah dan petunjuk Islam yang baru itu dan sekiranya dia didorong oleh nafsunya sesuatu waktu, atau sekali sekala dia merasa tertarik dengan kebiasaannya yang dahulu, atau kalau dia merasa lemah dari menjalankan tugas dan kewajipan kelslamannya sesuatu ketika, nescaya dia merasa bersalah dan berdosa, dan dia merasakan dari lubuk hatinya bahawa dia perlu mernbersihkan dirinya daripada apa yang berlaku itu; lalu dia berusaha sedaya upaya mengikuti panduan yang digariskan oleh Al-Quran.

Di sana juga terdapat pemisahan perasaan sepenuhnya di antara zaman lampau seseorang Muslim dalam keadaan jahiliyahnya dahulu dan zaman barunya di dalam Islam, yang akan menimbulkan pula pemisahan secara menyuluruh dalam segenap hubungannya dengan masyarakat jahiliyah. Dia berputus arang berkerat rotan dengan tata hidup masyarakat jahiliyah dahulu dan berhubungan langsung selama-lamanya dengan masyarakat Islam; walaupun kelihatan pada lahimya dia sering berhubungan dengan orang-orang musyrik di dalam lapangan perdagangan dan pergaulan hidup seharian, tetapi perpisahan perasaan dan pergaulan hidup seharian adalah dua hal yang berlainan dan berbeza sekali.

Di sana ada semacam pernisahan lagi, iaitu perpisahan suasana jahiliyah dalam kebiasaan dan pandangannya, adat resam dan hal-hal yang berkaitan dengannya, yang timbul dari pemisahan syirik ke akidah tauhid, dari konsep jahiliyah ke konsep Islam mengenai masalah hakikat hidup dan hakikat wujud; juga timbul dari percantumannya dengan perkumpulan dan organisasi Islam yang baru, di bawah pimpinan baru, dan sikap mernberi segenap perhatian, kepatuhan dan kesetiaan kepada masyarakat, perkumpulan dan organisasi baru di bawah pimpinan baru itu.

Inilah dia persimpangan jalan dan permulaan langkah di jalan baru, langkah yang bebas merdeka dari segala tekanan adat resam yang dipatuhi sepenuhnya oleh masyarakat jahiliyah dan segala nilai yang menjadi kebiasaannya. Di sana tiada risiko yang akan ditempuh selain dari ujian dan penderitaan, namun demikian dia secara otomatis telah bertekad tegas dan bulat untuk tidak akan kembali lagi kepada sebarang bentuk jahiliyah, kepada tekanan dan kebiasaan jahiliyah buat selama-lamanya.

Kita sekarang sedang berada di tengah-tengah suasana jahiliyah yang serupa dengan suasana jahiliyah yang ada.pada zaman kedatangan Islam dahulu, malah lebih gelap lagi. Segala sesuatu di sekitar kita ialah jahiliyah konsep hidup manusia sekarang, akidah kepercayaan mereka, adat istiadat dan kebiasan mereka, sumber pelajaran seni dan sastera mereka, peraturan dan undang-undang mereka, hinggakan banyak perkara yang kita anggap sebagai pelajaran Islam, buku rujukan Islam, falsafah Islam dan pemikiran Islam sebenamya adalah hasil ciptaan jahiliyah!

Oleh kerana itulah maka nilai Islam tidak tulus dan tidak hidup subur lagi di dalam jiwa kita, teori Islam itu tidak begitu terang lagi di dalam pemikiran Idta, dan di kalangan kita sekarang tidak muncul lagi suatu generasi manusia raksaksa dari model yang dilahirkan oleh Islam di zaman pertama dahulu.

Oleh itu, di dalam program gerakan ke-Islaman, kita mesti membebaskan diri di peringkat permulaan, di peringkat taman kanak-kanak lagi, dari sebarang pengaruh jahiliyah yang selalu menghayati kita sekarang. Kita mesti rujuk semula ke pangkal jalan, kepada sumber yang murni yang telah dicedok dan ditimba oleh orang-orang sebelum kita; iaitu sumber yang terjamin tidak bercampur baur dengan sumber yang lain. Kita mesti kembali semula kepadanya untuk mendapatkan teori mengenai hakikat wujud seluruhnya dan juga hakikat wujudnya umat manusia ini dan segala pertalian di antara kedua jenis wujud ini dengan wujud yang hakiki, iaitu wujud Allah SWT. Dari situlah kita mengambil pandangan terhadap hidup, kita mengambil nilai diri dan akhlak kita, serta kita mengambil panduan dan program pemerintahan, politik, ekonomi dan segala aspek kehidupan kita.

Bila kita rujuk semula, maka kita mestilah rujuk berdasarkan kaedah dan dasar “belajar untuk melaksanakan”, bukan dengan kaedah dan dasar belajar untuk mengetahui dan menglipur lara; kita rujuk kepadanya untuk mengetahui apa yang sebenar diminta kita lakukan, maka kita lakukan; dan di dalam perjalanan itu kita akan bersua dengan keindahan seni Al-Quran, dengan cerita dan kisah yang menyeronokkan dan juga dengan pandangan-. pandangan kiamat di dalam Al-Quran juga dengan logik kesedaran hati nurani di dalam Al-Quran dan juga dengan semua yang dicari-cari oleh pakar-pakar penyelidik.. . ya, kita akan jumpai semuanya itu, bukan dengan maksud hendak belajar dan menglipur lara tapi dengan tujuan utama hendak mengetahui apakah pekerjaan yang Al-Quran kehendaki kita kerjakan? Apakah konsep umum yang Al-Quran kehendaki kita berkonsep? Bagaimanakah tuntutan Al-Quran mengenai pandangan dan perasaan kita terhadap Allah SWT? Dan bagaimanakah tuntutan Al-Quran mengenai akhlak kita, realiti hidup kita, dan bagaimanakah corak sistem kita di dalam hidup ini?.

Kemudian kita mesti membebaskan diri dari tekanan masyarakat jahiliyati, dari tekanan konsep jahiliyah, dari adat resam jahiliyah dan juga dari pimpinan ala jahiliyah di dalam hidup diri kita sendiri. Bukanlah tugas kita untuk berkompromi dengan realiti masyarakat jahiliyah sekarang dan bukan untuk tunduk dan menumpahkan kesetiaan kepadanya sebab keadaan realiti jahiliyah itu tidak memungkinkan kita berkompromi dengannya sama sekali.

Tugas utama kita ialah mengubah realiti masyarakat ini. Tugas utama kita ialah mencabut realiti jahiliyah itu dari akar umbinya, realiti yang bertentangan dan berlanggar secara prinsipal dengan aspirasi Islam dan dengan konsep Islam, realiti yang menghalang kita dengan menggunakan kekerasan dan tekanan dari kita hidup seperti yang dikehendaki oleh program Ilahi.

Langkah pertama di dalam perjalanan kita ialah menghapuskan masyarakat jahiliyah ini, nilai-nilai dan teori-teorinya. Kita tidak boleh mengubah-suai sedikit jua pun untuk kemudiannya bertemu semula di pertengahan jalan. Sekali lagi tidak! Kerana jalan kita adalah berlainan dan bersimpangan dengan jalan jahiliyah. Seandainya kita cuba berjalan seiring dengannya biar pun selangkah jua nescaya kita kehilangan pedornan dan kita akan meraba dalam kesesatan.

Di dalam hal ini kita akan menempuh berbagai bentuk kesusahan dan penderitaan, kita akan menyumbangkan pengorbanan yang besar dan dahsyat, tetapi tiada alternatif lain kalau kita benar-benar hendak mengikuti langkah generasi pertama yang diiktiraf oleh Allah, yang telah menghancur dan memusnahkan jalan jahiliyah itu.

Adalah baik sekali bagi kita tetap menyadari bentuk program dan landasan kita, menyadari tabiat sikap kita dan juga tabiat jalan yang mesti kita lalui untuk keluar dari suasana jahiliyah yang telah dilalui oleh generasi yang agung dan unik itu.

Sumber Sayyid Qutb
Dari Maktab Tarbiyyah MSM

Petunjuk Sepanjang Jalan

Leave a comment

Umat manusia sekarang ini berada di tepi jurang kehancuran. Keadaan ini bukanlah berpunca dari ancaman maut yang sedang tergantung di atas ubun-ubunnya. Ancaman maut itu adalah satu gejala penyakit sahaja dan bukanlah ia penyakit itu sendiri. Sebenarnya punca utama dari keadaan ini ialah: bengkrap dan melesetnya umat manusia itu di bidang “nilai” yang menjadi pelindung hidupnya.

Hal ini terlalu menonjol di negara-negara blok Barat yang sememangnya sudah tidak punya apa pun “Nilai” yang dapat diberinya kepada umat manusia; malah tidak punya satu apa pun yang dapat memberi ketenangan hatinya sendiri, untuk merasa perlu hidup lebih lama lagi; setelah sistem “demokrasi” nampaknya berakhir dengan kegagalan dan kebengkrapan, sebab ternyata ia sudah mulai meniru – dengan secara beransur-ansur – dari sistem negara-negara blok Timur, khususnya di bidang ekonomi, dengan memakai nama sosialisme!

Demikian juga halnya di negara-negara blok Timur itu sendiri. Teori-teori yang bercorak kolektif, terutamanya Marxisme yang telah berhasil menarik perhatian sebahagian besar umat manusia di negara-negara blok Timur itu – dan malah di negara-negara blok Barat juga – dengan sifatnya sebagai suatu isme yang memakai cap akidah juga telah mulai mundur teratur sekali dari segi ‘teori’ hingga hampirlah sekarang ini lingkungannya terbatas di dalam soal-soal ‘sistem kenegaraan’ sahaja dan sudah menyeleweng begitu jauh dari dasar isme yang asal dasar-dasar pokok yang pada umumnya bertentangan dengan fitrah umat manusia dan tidak mungkin berkembang kecuali di dalam masyarakat yang mundur, atau pun masyarakat yang begitu lama menderita di bawah tekanan sistem pemerintahan diktator.

Hatta di dalam masyarakat seperti itu sendiri pun – telah mulai nampak kegagalan di bidang benda dan ekonomi; iaitu bidang yang paling dibanggakan oleh sistem itu sendiri. Lihat sahaja Russia, negara model dari sistem kolektif itu, telah mulai diancam bahaya kebuluran yang hampir sama dengan keadaan di zaman Tzar dahulu; hingga negara itu telah terpaksa mengimpot gandum dan bahan-bahan makanan serta rnenjual emas simpanannya untuk membeli bahan makanan itu. Ini berpunca daripada kegagalan sistem pertanian kolektif dan sistem ekonomi yang bertentangan dengan fitrah umat manusia.

Oleh itu, maka umat manusia mestilah diberikan pimpinan baru! Sesungguhnya peranan pimpinan manusia barat ke atas umat manusia ini telah hampir tamat. Ini bukanlah kerana tamaddun Barat itu telah bengkerap dan dari segi benda atau telah lemah dari segi ekonomi dan kekuatan tentera tetapi sebenarnya kerana sistem Barat itu telah tamat tempohnya sebab ia tidak lagi mempunyai stock “nilai” yang melayakkan dia memegang pimpinan.

Umat manusia perlukan suatu pimpinan yang mampu menyambung terus tamadun kebendaan seperti yang telah dapat dicapai sekarang melalui tamadun cara Eropah itu, juga yang mampu memberikan nilai baru yang lengkap, setanding dengan yang telah sedia ada dan telah popular di dalam masyarakat manusia, juga yang mempunyai program yang kemas kini, positif dan praktikal.

Hanya Islam sahajalah yang mempunyai nilai-nilai dan program yang sargat diperlukan itu. Kemajuan ilmu pengetahuan telah pun menunaikan tugasnya. Sejak dari zaman kebangkitan di dalam abad keenam belas Masihi dan telah mencapai puncak kemajuannya di dalam abad kedelapan betas dan abad kesembilan belas. Sesudah itu tamadun Eropah sudah kehabisan bahan simpanan, untuk disumbangkan kepada umat manusia. Demikian juga faham-faham “kebangsaan” dan “perkauman” yang telah muncul pada ketika itu, dan beberapa buah negara gabungan telah lahir dan telah memberikan sumbangannya masing-masing kepada umat manusia tapi faham-faham “kebangsaan” dan “perkauman” itu sudah tidak mampu memberikan apa-apa pun kepada umat manusia, kerana sudah kehabisan bahan simpanan… Pada akhirnya sistem-sistem yang berdasarkan kebebasan individu dengan disusuli pula oleh sistem kolektif telah selesai peranannya dan berakhir dengan kegagalan juga.

Sekarang tibalah pula giliran ISLAM dan peranan “umat” di saat yang paling genting ini memang sudah tiba giliran Islam pula. Islam yang tidak memandang remeh dan rendah kepada hasil ciptaan sains yang dilakukan oleh umat manusia sebelum ini dan akan terus dilakukan oleh umat manusia di sepanjang zaman kerana Islam memandang kemajuan di bidang ciptaan sains itu sebagai salah satu tugas utama manusia sejak Allah melantik umat manusia ini menjadi “khalifah” dan pemerintah di bumi ini, dan di bawah syarat-syarat tertentu pula, Islam memandangnya sebagai sejenis ibadat kepada Allah, dan sebagai sejenis pelaksanaan tujuan hidup manusia:

Firman Allah: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak jadikan seorang khalifah di muka bumi. ” (Al-Baqarah: 30) .

Firman Allah: Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. [Adz Dzariat: 56].

Maka tibalah giliran bagi “UMAT ISLAM” melaksanakan tujuan Allah yang telah melahirkan umat ini ke tengah-tengah masyarakat umat manusia:

Kamu [umat Islam] adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, iaitu kamu menyuruh berbuat kebaikan dan melarang daripada berbuat kejahatan dan kamu beriman kepada Allah. [Aali Imraan: 110]. .

Firman Allah: Dan demikianlah kami jadikan kamu [umat Islam] umat yang adil dan pilihan, agar kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia dan agar Rasul [Muhammad] menjadi saksi atas perbuatan kamu …. [A1 Baqarah: 143].

Tetapi Islam tidak akan mampu menunaikan tugasnya kecuali bila ia menjelma di dalam sebuah masyarakat, iaitu ia menjadi panduan hidup suatu umat kerana umat manusia tidak mahu mendengar – terutama sekali di zaman mutaakhir ini – kepada suatu akidah yang kosong, yang tidak dapat dilihat buktinya melalui suatu bentuk hidup yang nyata dan dapat disaksikan sedangkan “wujud” umat Islam itu sendiri boleh dianggap telah terputus -sejak beberapa abad yang lalu kerana UMAT ISLAM itu bukanlah bererti sekeping tanah di mana Islam hidup di situ, bukan juga suatu kaum atau golongan orang yang nenek moyang mereka dahulu pernah menghayati Islam sebagai panduan hidup mereka kerana sesungguhnya “umat Islam” itu ialah suatu golongan manusia yang menimba hidup, konsep realiti, nilai hidup mereka dari sumber Islam dan umat ini, dengan ciri-ciri yang disebut di atas, telah terputus wujudnya sejak terhentinya pelaksanaan undang-­undang dan syariat Islam dari seluruh muka bumi ini.

Oleh sebab itu maka perlulah dipulihkan semula wujudnya umat itu; supaya Islam dapat menunaikan peranan yang sangat diharapkan itu, dalam memimpin umat manusia sekali lagi. Memanglah umat Islam itu mesti “bangkit” semula umat yang telah ditimbus zaman, ditimbus oleh konsep hidup yang sesat dan ditimbus pula oleh realiti hidup yang menyeleweng, ditimbus oleh sistem hidup yang pincang dan tiada kena mengena dengan Islam sama sekali, tiada kena mengena dengan program Islam walaupun umat itu masih menganggap dirinya sebagai umat Islam dan masih memanggil negeri tempat tinggal mereka sebagai “dunia Islam.”

Sebenarnya saya arif benar bahawa jarak di antara usaha “bangkit” semula dan “memegang pimpinan” itu masih jauh dan susah dilalui sebab sesungguhnya umat Islam sudah hilang dari “wujud” dan “realiti” begitu lama sekali dan peranan memimpin umat manusia itu telah diambil oleh fikiran yang lain, oleh umat yang lain dan oleh konsep yang lain, juga oleh realiti yang lain berabad-abad lamanya dan tamadun Eropah telah pun menciptakan dalam tempoh yang begitu lama beberapa banyak perbendaharaan yang berbentuk “Ilmu Pengetahuan” “kebudayaan” “sistem hidup” dan “penghasilan benda”, iaitu suatu perbendaharaan yang agung dan telah membawa umat manusia naik ke kemuncak kemajuan perbendaharaan yang tidak dapat dibuang begitu sahaja tanpa gantinya; lebih-lebih lagi negara-negara yang bernama “dunia Islam” sekarang hampir tidak mempunyai bahan simpanan dari hasil perbendaharaan itu.

Walau bagaimanapun tanpa mengenepikan pertimbangan ini walau bagaimana jauhnya pun jarak di antara “bangkit semula” dengan “memegang pimpinan” langkah-langkah ke arah bangkit semula itu mesti dijalankan serta merta dan jangan dilengahkan lagi! Supaya kita selalu dapat menguasai persoalannya, maka perlu benar kita memahami secara terperinci, apakah dia syarat-syarat kelayakan yang akan mernbolehkan umat ini (umat Islam) memegang peranan memimpin umat manusia, supaya kita tidak meraba-raba dalam mencari unsur-unsur yang dapat mencetuskan kebangkitan semula umat ini, di peringkat pertama.

Umat ini sekarang tidak punya kemampuan dan tidak perlu ia mempunyai kemampuan untuk mengemukakan kepada umat manusia keunggulan dan kejaguhannya di dalam lapangan “ciptaan benda” yang membikin orang tunduk dan takut kepadanya dan memaksa umat manusia menerima pimpinannya berdasarkan faktor ini; kerana kemajuan ala Eropah di lapangan ini telah terlalu jauh mendahuluinya dan memanglah tidak boleh diharapkan, dalam tempoh beberapa abad di hadapan, untuk mengatasi mereka di lapangan ini! Yang demikian maka mestilah dicari suatu syarat kelayakan yang lain, iaitu syarat kelayakan yang tidak terdapat di dalam tamaddun sekarang.

Ini tidaklah bererti bahawa kita mesti melupakan dan mesti memandang enteng kepada soal “penghasilan benda” dan “rekaan sains”, sebab menjadi kewajipan kita juga untuk berusaha mendapatkannya, tapi bukanlah dengan anggapan bahawa ia merupakan “syarat kelayakan” asasi yang mesti kita gunakan di dalam memegang pimpinan umat manusia dalam tempoh sekarang ini. Cuma ia diperlukan sekadar untuk menjaga hidup kita dari ancaman dan penindasan dan juga kerana konsep Islam sendiri yang mengajarkan bahawa ciptaan sains adalah mustahak sebagai syarat menjadi khalifah Allah di muka bumi ini.

Oleh kerana itulah maka mustahaklah ada suatu syarat kelayakan lain, bukan ciptaan sains dan penghasilan benda, dan sudah pastilah syarat kelayakan itu tidak lain daripada “akidah” dan “Program” yang membolehkan manusia itu memelihara dan mengawal hasil ciptaan sains, di bawah pengawrasan suatu konsep lain yang dapat memenuhi hajat fitrah seperti yang telah diperolehi oleh kemajuan sains itu, dan supaya akidah dan program itu menjelma di dalam sebuah perkumpulan manusia, iaitu sebuah masyarakat Islam.

Sesungguhnya dunia sekarang ini berada di dalam “jahiliyah” dari segi dasar yang menjadi sumber bagi tegaknya kehidupan dan peraturan­-peraturan nya. Jahiliyah yang tidak dapat menyelesaikan bebanan hidup hasil dari rekaan baru yang sedang memuncak sekarang. Jahiliyah ini tegak di atas dasar mencabul kekuasaan-kekuasaan Allah di muka bumi dan merampas hak istimewa Allah iaitu pemerintahan dan kekuasaan. Jahiliyah itu rnenyandarkan pemerintahan kepada umat manusia yang menyebabkan setengah golongan menjadi hamba abdi kepada setengah golorgan yang lain bukan sahaja di dalam bentuk primitif seperti yang berlaku di zaman jahiliyah purbakala tetapi lebih dahsyat lagi di dalam bentuk mengakui dan memberi hak membuat konsep-konsep, nilai-nilai, undang-undang, peraturan-peraturan dan ketetapan-ketetapan yang jauh terpesong daripada panduan dan program Allah untuk hidup ini; dalam perkara-perkara yang tidak pernah diizin oleh Allah, maka hasil daripada penyalahgunaan kuasa Allah itu secara otomatisnya timbullah pelanggaran atas hak-hak Allah, dan pelanggaran atas hak-hak manusia.

Sebenamya kehinaan yang menimpa umat manusia di dalam sistem kolektif dan juga kekejaman yang menimpa individu dan bangsa terjajah di bawah sistem kapitalis adalah salah satu kesan dari pencabulan manusia ke atas hak istimewa Allah SWT juga kerana manusia tidak menghargai kehormatan yang dianugerah oleh Allah kepadanya sejak azali. . Di dalam aspek ini, maka konsep Islam tetap berlainan langsung dengan konsep-konsep bikinan manusia; kerana di bawah sistem yang lain dari Islam, umat manusia itu saling rnengabdikan diri di antara satu sama lain, dalam bermacam-macam bentuknya sedangkan di bawah sistem Islam umat manusia bebas sepenuhnya daripada sebarang belenggu pengabdian kepada sesama manusia dengan cara mengabdikan diri kepada Allah SWT sahaja dan menerima arahan daripada Allah sahaja; juga tunduk dan patuh kepada Allah sahaja.

Inilah garis pemisah dan inilah persimpangan jalan. Inilah juga konsep baru yang kita mampu kemukakan kepada umat manusia konsep ini dan yang rangkaiannya adalah perbendaharaan yang masih belum dimiliki oleh umat manusia; kerana ia bukanlah hasil “pengeluaran” atau “produksi” kilang tamaddun Barat dan bukan hasil rekaan sains Eropah, baik Eropah Barat mahu pun Eropah Timur. Sesungguhnya kita- tanpa ragu sedikit pun – memang ada memiliki suatu potensi baru, lengkap dan sempurna; potensi yang masih belum dikenal dan belum mampu dibikin oleh seluruh umat manusia.

Tetapi potensi baru ini, seperti telah kita tegaskan, mestilah menjelma di dalam bentuk realiti yang praktis, mesti menjadi panduan dan darah daging suatu umat bagi membolehkan berjalannya operasi “kebangkitan” umat mengikut bentuk Islam kebangkitan yang akan disusuli pula, lambat-launnya, oleh peranan memegang pimpinan seluruh umat manusia.

Tetapi bagaimanakah caranya memulakan operasi kebangkitan Islam itu? Jawabnya : Mesti ada satu golongan pelopor atau “kader” yang menghayati cita-cita ini, dan meneruskan kegiatannya dengan cara menerobos ke dalam alam jahiliyah yang sedang berpengaruh di seluruh permukaan bumi ini dengan memakai dua kaedah: iaitu kaedah memisahkan diri dan kaedah membuat hubungan di bidang lain pula dengan pihak jahiliyah itu. Para pelopor dan kader itu tentulah perlu kepada panduan-panduan di sepanjang perjalanan mereka; panduan yang memberikan tentang tabiat peranan mereka, hakikat tugas mereka dan inti sari tujuan akhir perjalanan mereka dan juga mengenai garis permulaan di dalam perjalanan jauh itu seperti juga para pelopor dan kader itu perlu mendapat panduan secukupnya mengenai – jahiliyah yang sedang berpengaruh di dunia sekarang di dalam suasana yang bagaimanakah mereka boleh berjalan seiring dengan jahiliyah dan di dalam suasana yang bagaimanakah pula mereka harus memisahkan diri; bagaimana caranya melayani pihak jahiliyah itu dengan menggunakan kaedah Islam dan dalam topik apakah yang perlu dibicarakan? Juga dari mana dan bagaimanakah pula menimba bahan-bahan panduan itu?

Panduan-panduan itu hendaklah diambil dan ditimba daripada sumber asal akidah ini iaitu Al-Quran dan juga dari arahan-arahan Al-Quran yang asasi juga dari konsep yang telah dipancarkan oleh Al-Quran ke dalam jiwa para pelopor dan kader terbilang dahulu, yang telah diberi penghormatan besar oleh Allah SWT untuk mengubah bentuk sejarah umat manusia mengikut kehendak Allah.

Untuk para pelopor dan kader yang diharapkan dan ditunggu-tunggu kelahirannya itu saya tuliskan PETUNJUK SEPANJANG JALAN ini.

Empat fasal dari buku ini disedut dari buku DI BAWAH BAYANGAN AL-QURAN dengan beberapa pindaan dan tambahan di mana perlu, sesuai dengan judul PETUNJUK. Di antara kandungannya juga ialah delapan fasal, selain daripada muqaddimah ini, yang ditulis dalam waktu tertentu saya beroleh kesempatan dan ilham dari sumber Al-Quran Yang Mulia… dan dirangkai menjadi satu, sebagai “Petunjuk” dan panduan di dalam perjalanan, seperti juga buku panduan jalan raya yang lain.

Pada keseluruhanrrya inilah petunjuk dan panduan peringkat pertama.

Semoga Allah melimpahkan kurnia-Nya dan petunjuk ini akan disusul lagi oleh petunjuk-petunjuk lain bila sahaja Allah memberi hidayah kepadaku mengenai petunjuk di sepanjang jalan ini.

As Syahid Syed Qutb

Sumbangan dari Maktab Tarbiyyah MSM

Pengunaan kalimah Allah — Datuk Seri Tn. Guru Hj. Abdul Hadi Awang

Leave a comment

JAN 9, Harakahdaily — Penggunaan kalimah “Allah” oleh penganut agama bukan Islam telah menjadi bahan polemik hangat dalam negara kita, dan ianya menjadi semakin panas setelah pihak Mahkamah Tinggi membuat keputusan memberi keizinan kepada pihak gereja Katholik menggunapakai perkataan Allah dalam bahan penerbitan mereka.

Realiti kehidupan dalam negara kita ialah, kedudukan masyarakat Kristian adalah dalam lingkungan kehidupan masyarakat umum yang hidup secara bersama, khususnya masyarakat yang hidup di dalamnya umat Islam, mahu tidak mahu ianya akan menyentuh perasaan mereka, kerana perkataan Allah adalah sangat mulia di sisi umat Islam.

Apa yang menghairankan ialah, sebelum ini pengamal ajaran Kristian itu menyebut “tuhan” dengan bahasa mereka masing-masing. Ada pun umat Islam yang terdiri daripada berbagai bangsa dan bahasa tetap berlafaz dan menulis dengan perkataan “Allah” dari kitab suci mereka (Al-Quran). Perkataan “Allah” ini tidak diterjemahkan lagi ke dalam bahasa masing-masing, kerana perkataan Allah tidak mampu diterjemahkan ke dalam bahasa lain, dengan berpegang kepada makna asalnya dalam bahasa Al-Quran.

Persoalannya ialah, adakah ianya boleh dibenarkan begitu sahaja di atas konsep kebebasan beragama? Hakikatnya, kebebasan secara saksama seharusnya mempunyai batas sempadan yang tidak menimbulkan masalah sehingga boleh mencetuskan perkara yang boleh merosakkan hubungan sesame manusia. Jangan sampai kita “terbabas” dalam mencari kebebasan. Perkara ini perlu dijawab secara ilmu, kerana umat Islam menyebut dan menulis kalimah Allah mengikut maknanya yang sebenar sehingga menjadi akidah yang menjadi asas kepada amalan mereka.

Apa yang perlu difahami ialah, adakah penggunaan perkataan Allah oleh penganut agama lain itu adalah mengikut makna perkataan “Allah” yang tepat, dengan maksudnya yang sebenar dari segi bahasa Arab? Atau adakah mereka yang bukan Islam itu memakai perkataan itu dengan mempunyai maksud mereka sendiri yang tidak tepat mengikut bahasa bangsa yang menggunakannya, sehingga ianya boleh menjadi ejekan atau mengurangkan maksudnya sehingga menyentuh perasaan penganut Islam yang memuja kalimah ini? Suatu hakikat yang perlu difahami dengan terang dan nyata ialah, bahawa umat Islam di serata dunia yang terdiri daripada berbagai bangsa dan bercakap berbagai bahasa pula, sedang menggunakan perkataan “Allah” mengikut maksudnya yang sebenar inilah.

Perkataan Allah disebut oleh orang Arab atau pengguna bahasa Arab yang menganut berbagai agama, sama ada penganut Yahudi, Kristian dan penyembah berhala sejak dahulu kala. Al-Quran menyebut secara jelas bahawa penganut agama-agama itu menyebut dan menulis perkataan Allah.

Firman Allah bermaksud: Dan sesungguhnya jika engkau (wahai Muhammad) bertanya kepada mereka (yang musyrik) itu: “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi, dan yang memudahkan matahari dan bulan (untuk faedah makhluk-makhlukNya) , sudah tentu mereka akan menjawab: “Allah”. Maka bagaimana mereka tergamak dipalingkan (oleh hawa nafsunya daripada mengakui keesaan Allah dan mematuhi perintahNya) ?. (Surah al-Ankabut: 61)

Firman Allah bermaksud: Dan sesungguhnya jika engkau (wahai Muhammad) bertanya kepada mereka (yang musyrik) itu: “Siapakah yang menurunkan hujan dari langit, lalu ia hidupkan dengannya tumbuh-tumbuhan di bumi sesudah matinya? sudah tentu mereka akan menjawab: “Allah”. Ucapkanlah (wahai Muhammad): “Alhamdulillah” (sebagai bersyukur disebabkan pengakuan mereka yang demikian), bahkan kebanyakan mereka tidak memahami (hakikat tauhid dan pengertian syirik). (Surah al-Ankabut: 63)

Firman Allah bermaksud: Dan sesungguhnya jika engkau (wahai Muhammad) bertanya kepada mereka (yang musyrik) itu: “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?” sudah tentu mereka akan menjawab: “Allah”. Ucapkanlah (wahai Muhammad): “Alhamdulillah” (sebagai bersyukur disebabkan pengakuan mereka yang demikian – tidak mengingkari Allah), bahkan kebanyakan mereka tidak mengetahui (hakikat tauhid dan pengertian syirik). (Surah Luqman: 25)

Firman Allah bermaksud: Dan demi sesungguhnya! jika engkau (Wahai Muhammad) bertanya kepada mereka (yang musyrik) itu: “Siapakah yang mencipta langit dan bumi?” sudah tentu mereka akan menjawab: “Allah”. Katakanlah (kepada mereka): “Kalau demikian, bagaimana fikiran kamu tentang yang kamu sembah yang lain dari Allah itu? jika Allah hendak menimpakan daku dengan sesuatu bahaya, dapatkah mereka mengelakkan atau menghapuskan bahayanya itu; atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, dapatkah mereka menahan rahmatNya itu?” Katakanlah lagi: “Cukuplah bagiku: Allah (yang menolong dan memeliharaku) ; kepadaNyalah hendaknya berserah orang-orang yang mahu berserah diri”. (Surah az-Zumar: 38)

Firman Allah bermaksud: Dan demi sesungguhnya! jika engkau (wahai Muhammad) bertanya kepada mereka (yang musyrik) itu: “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?” sudah tentu mereka akan menjawab: “yang menciptakannya ialah Allah Yang Maha Kuasa, lagi Maha Mengetahui”. (Surah az-Zukhruf: 9)

Firman Allah bermaksud: Dan demi sesungguhnya! jika engkau (wahai Muhammad) bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan mereka?” sudah tentu mereka akan menjawab: “Allah!”. (jika demikian) maka bagaimana mereka rela dipesongkan (dari menyembah dan mengesakanNya) ? (Surah az-Zukhruf: 87)

Ayat-ayat tersebut di atas mendedahkan bahawa orang-orang bukan Islam yang menganut berbagai agama itu mengaku wujudnya Tuhan yang bernama Allah mengikut naluri dalam Tauhid Rububiyyah (adanya Tuhan Pencipta Alam) dan ianya hanya sekadar itu. Namun kepercayaan mereka sebegini tidak menepati hakikat dari makna perkataan Allah mengikut maknanya yang sebenar, iaitu supaya mengesakan Allah dalam ibadah dan cara hidup seluruhnya.

Hari ini kita melihat mukjizat Al-Quran, apabila mereka memaksa diri untuk menggunakan perkataan Allah, pada hal selama ini mereka menggunakan perkataan yang menamakan Tuhan dengan bahasa masing-masing seperti God dan Lord; dan kalau itulah Allah mengikut kefahaman mereka maka ianya adalah tidak tepat dengan maksudnya.

Umat Islam tidak boleh memaksa kefahaman mereka yang salah ini untuk mengikut ajaran dan takrifan bahasa umat Islam, walaupun mereka percaya kepada Tuhan Yang Maha Berkuasa, tetapi mereka melantik tuhan-tuhan yang lain daripadanya dengan berbagai-bagai cara. Kalangan penganut Kristian dengan kepercayaan Trinity dengan mengadakan isteri dan anak bagi Tuhan Yang Maha Esa dan Yang Maha Suci itu. Agama yang lain menambah perlantikan Tuhan mengikut kefahaman mereka masing-masing.

Mengikut ajaran Islam, perkataan Allah ialah salah satu daripada nama-nama yang banyak bagi Tuhan Yang Maha Esa (Al-Asma Al-Husna).

Imam Al-Baihaqi menulis dalam kitabnya (Al-Asma wa Sifat). “Perkataan Allah itu ialah Tuhan Yang Maha Esa, tidak berbilang lebih dari satu dan tidak ada sekutu bagiNya (sama ada dinamakan bapa, anak dan apa sahaja). Allah mengikut bahasa Arab yang fasih dan nyata bermaksud, Dia Sahaja Tuhan, Yang Maha Esa, tidak ada lagi tuhan yang lain daripadaNya. Perkataan Allah itu daripada perkataan aL-Ilah dengan menambah al kepada perkataan asal Ilah yang bermakna Tuhan secara umum. Apabila diletakkan alif dan lam (al) menjadi yang khusus satunya yang dikenali dan diyakini benarnya, kemudian dimudahkan sebutannya dengan membuang beberapa huruf, maka disebut Allah. Penambahan al dalam bahasa Arab bertujuan makrifah (yang dikenali) secara khusus yang tidak boleh dikelirukan dengan kepercayaan salah, iaitu “berbilang tuhan”.

Al-Quran mengajar cara penjelasan makna yang sebenar, begitu juga hadith-hadith Rasulullah SAW. Penjelasan inilah yang dinamakan sebagai “menyampaikan dakwah”, sebagaimana yang diamalkan oleh Rasulullah SAW. Tanpa melarang mereka dari menyebut perkataan Allah, tetapi kita memberi penjelasan berdasarkan ilmu, bahawa penggunaan perkataan Allah oleh mereka yang percaya adanya sifat ketuhanan dan nama ketuhanan yang lain daripada Allah adalah tidak tepat.

Apabila Rasulullah SAW menghantar surat kepada raja-raja yang menganut agama kitab, dan disebut dalam surat perutusan itu firman Allah yang menjelaskan kepercayaan yang sebenar kepada Allah yang bermaksud:

Katakanlah (wahai Muhammad): “Wahai ahli kitab, marilah kepada satu kalimah yang bersamaan antara kami dengan kamu, iaitu kita semua tidak menyembah melainkan Allah, dan kita tidak sekutukan denganNya sesuatu jua pun; dan jangan pula sebahagian dari kita mengambil akan sebahagian yang lain untuk dijadikan orang-orang yang dipuja dan didewa-dewakan selain daripada Allah”. Kemudian jika mereka (ahli kitab itu) berpaling (enggan menerimanya) maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah kamu bahawa sesungguhnya kami adalah orang-orang Islam”. (Surah Ali Imran: 64)

Perutusan Rasulullah SAW mendedahkah bagaimana golongan ahli kitab (Kristian dan Yahudi) memakai perkataan yang sama apabila menyebut perkataan Allah, seterusnya dijelaskan dengan makna aqidah yang tepat secara ajaran tauhid, iaitu mengesakan Allah tanpa syirik, sama ada syirik itu melakukan upacara ibadat dengan menyembah tuhan-tuhan yang lain daripada Allah, atau mematuhi hukum-hukum dan undang-undang ciptaan para ahli agama (pendita) dan pemimpin-pemimpin (arbab) yang mencipta undang-undang dan hukum yang menentang hukum Allah. Mereka telah menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah dalam kitab yang diturunkan kepada rasul mereka sendiri, atau mengharamkan apa yang dihalalkan, atau memberi hak ketuhanan kepada ahli agama sehingga boleh mengampunkan dosa yang menjadi hak Allah sahaja.

Kesimpulannya, kita tidak boleh melarang mereka menggunakan perkataan Allah di kalangan mereka sendiri, dalam ibadat mereka dan amalan mereka, walau pun salah maksud dan maknanya yang asal mengikut bahasa kita. Adapun menggunakan perkataan Allah oleh mereka terhadap masyarakat Islam untuk menyebarkan agama mereka dengan fahaman mereka, atau menjadikan perkataan Allah sekadar mengubah jenama bagi melariskan barangan dalam masyarakat Islam, tidak boleh dizinkan sama sekali. Ini adalah kerana menyalahgunakan perkataan Allah yang Maha Suci kepada umat Islam dan bercanggah dengan makna mengikut bahasa yang diamal oleh umat Islam, adalah dikira menodai kesucian dan kemurnian kalimah Allah di hadapan umat Islam.

Imam Ali K.W, menegaskan kepada mereka yang menyalahgunakan perkataan yang benar dengan tujuan yang salah, dengan apa nama sekalipun:

(Kalimahnya benar tetapi dimaksudkan dengan tujuan yang salah).

Kalimah Allah adalah paling benar, tetapi kalau menulis atau menyebut perkataan Allah laksana memakai jenama barangan untuk melariskan jualan di tengah masyarakat umat Islam, maka ianya sangat menyentuh sensitivity umat Islam. Keadaan ini akan menyebabkan semua kalangan umat Islam yang berbeza pertubuhan (NGO), fahaman politik dan individu, bersatu untuk mengeluarkan suara hati mereka yang sangat memuliakan kalimah Allah. Suasana sebegini boleh menimbulkan ketegangan dalam masyarakat majmuk yang ada dalam negara kita.

Al-Quran juga memerintah penganutnya supaya tidak menghina dan mencaci penganut agama lain sehingga menyebabkan mereka mencaci Allah.

Firman Allah yang bermaksud: Dan janganlah kamu cerca benda-benda yang mereka sembah yang lain dari Allah, kerana mereka kelak, akan mencerca Allah secara melampaui batas dengan ketiadaan pengetahuan. Demikianlah Kami memperelokkan pada pandangan tiap-tiap umat akan amal perbuatan mereka, kemudian kepada Tuhan merekalah tempat kembali mereka, lalu ia menerangkan kepada mereka apa yang mereka telah lakukan. (Surah al-An’am: 108)

Demikianlah keterbukaan Islam terhadap kebebasan beragama dengan batas sempadan yang tidak menegangkan hubungan dalam masyarakat berbagai agama. — harakahdaily

Datuk Seri Tuan Guru Abdul Hadi Awang ialah presiden PAS.

Widad dan Intima’

Leave a comment

Widad

Widad bererti saling cinta menyintai yakni kasih yg bertimbal balik, merupakan satu rumpun kata dengan mawaddah (QS Ar-Rum [30] :21). “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang.

Sabda Rasulullah saw ’Perumpamaan orang-orang beriman dalam saling mencintai, saling menyayangi, dan saling bersimpati adalah seperti satu tubuh, jika ada satu organ yang sakit, maka organ-organ lainnya akan terkesan olehnya sehingga susah tidur dan demam.” (HR Muttafaqun ‘alaih).

Mengingatkan betapa penting wuddun atau widad atau tawaddihim inilah, maka Hasan Al Banna mengatakan: ‘Laa tufsiduu lil wuddi qodhiyyah’. Maksudnya: Janganlah permasalahan, pertikaian, perselisihan diantara sesama da’i, murabbi dan mutarabbi, qidayah dan junud, syekh dan murid menjadi penyebab hancurnya cinta kasih yang ada diantara mereka.

Intima’

Intima’ adalah penggabungan diri atau dokongan dgn membawa erti hubungan diantara sesama da’I atau murabbi’ dan mutarabbi, atau qiyadah dan junud hendaklah dibangunkan atas dasar ‘widad’, bahkan hubungan antara sesama muslim pun haruslah dibangun atas dasar dan prinsip ini.

Sebab itulah, dalam salah satu risalahnya, Hasan Al Banna menjelaskan bahwa lembaga tarbiyah hendaklah dibangunkan di atas tiga rukun yaitu ta’aruf, tafahum dan takaful. Dalam penjelasannya, ia memaparkan bahwa yang dimaksud dengan ta’aruf adalah upaya saling mengenali antara sesama da’i, saling mencintai karena Allah, upaya merasai nilai ukhuwwah yang benar dan sempurna, kesungguhan untuk tidak mengeruhkan hubungan dengan syi’ar ‘innamal mukminuuna ikhwah, wa’tashimu bihablillah.’

Sementara yang dimaksud ‘tafahum’ – adalah istiqamah di atas manhaj Al Haqq, menjalankan perintah Allah, menjauhi larangan-Nya, ‘muhasabatun- nafs’, saling menasihati dengan adab-adab dan upaya untuk senantiasa mencintai saudaranya, menghormati dan mencintainya.’

Imam Syafi’i berkata: ‘Al-hurru man raa-’aa widaada lahzhatin, wantamaa li man afaadahu lafzhatan’.’ Manusia merdeka adalah seseorang yang memperhatikan, memelihara ‘widad’ walaupun sesaat, dan berintima’ kepada orang yang telah memberikan faedah kepadanya, meskipun hanya ‘lafzhatan’ (satu kata). Pernyataan Imam Syafi’i ini perlu kita renungi ‘ibrah yang terkandung di dalamnya terutama dalam dakwah, tarbiyah dan harakah: Ada empat istilah yang perlu diperhatikan samaada kita sebagai ‘murabbi’ ataupun’ mutarabbi’, atau sebagai ‘qiyadah’ ataupun ‘junud’ iaitu ‘widad – muro’at – ifadah – intima’. Jika kita seorang ‘murabbi’, dan menginginkan adanya ‘muro’at’ (perhatian, penjagaan, pemeliharaan, dan pembelaan, kesetiaan dll) dari mutarabbi kita, maka terlebih dahulu, kita harus memberikan ‘widad’ kepada para ‘mutarabbi’ kita. Begitu juga qaid (pemimpin) yg menginginkan adanya ‘intima’’ (penggabungan diri, dukungan) dari junud maka terlebih dahulu, kita harus memberikan ‘ifadah’ (hal-hal yang bermanfaat dan berfaedah) kepada para ‘mutarabbi’ dan jundi kita. Sebaliknya, bila kita adalah ‘mutarabbi’, maka hendaklah kita menyadari betapa banyak ‘widad’ dan ‘ifadah’ yang telah kita dapatkan dari ‘murabbi’ bukan satu detik tetapi mungkin dah berbulan, atau bertahun bah kan bukan sekadar hanya satu kata (‘lafzhatin’), maka sewajarnyalah kita me-’muro’at-i’ dan ber-’intima’’ kepada murabbi kita itu. Begitu halnya sikap kita sebagai jundi terhadap ‘qiyadah’ kita.’ Kadang-kadang, sebagian kita menganggap bahwa hubungan antara ‘murabbi’ dan ‘mutarabbi’ adalah hubungan bahan semata-mata (menyampaikan bahan tarbiyah atau pembinaan). Persepsi seperti ini adalah salah, ada sesuatu yang lebih penting yaitu ‘widad’, maksudnya: sudah sejauh manakah sang Murabbi memberikan ‘widad’-nya kepada sang mutarabbi, dan sudah seberapa besar sang mutarabbi merasakan widad dari murabbinya.’

Sabda Rasulullah saw:’ “Tidaklah kalian masuk syurga sehingga kalian beriman, dan tidaklah kalian beriman sehingga kalian saling mencintai, …” (HR Muslim).’ ‘

Perlu kita ketahui bahwa hubungan (berdasarkan bahan) tidaklah sehebat hubungan ‘ifadah’, sebab, bisa saja seorang murabbi menyampaikan suatu bahan, akan tetapi, bagi mutarabbi, ia merasa tidak mendapatkan faedah apa-apa dari bahan itu yakni tidak mendapat sesuatu yang terasa betul sangat berguna bagi kehidupan agama seorang ‘mutarabbi’, atau ‘ma’asy’ (kehidupan duniawinya) atau boleh terjadi bahan itu sudah tidah menepati suasana yg baru sbb asyik2 itu itu juga atau mungkin terlalu hambar, kurang sedap, atau mungkin banyak kesalahan tulis dan ilmiahnya atau karena kemungkinan- kemungkinan lainnya yang menyebabkan hilangnya nilai faedah dari bahan itu.

Perlu ditegaskan di sini, bahwa tujuan kita memberikan ‘widad’ dan ‘ifadah’ bukanlah agar kita mendapatkan ‘muro’at’ dan ‘intima’’ tadi, akan tetapi, tujuan kita tetap utk meraih redha Allah swt, ‘muro’at’ dan ‘intima’ itu harus kita sikapi seperti ghanimah dalam peperangan, bila ada kita ambil, bila tidak ada kita sudah mengikhlaskannya untuk Allah swt dan mengharapkan ganjaran di sisi-Nya di akhirat nanti, amiiiin.

Marilah kita renung kembali empat kata penting dalam kalimat Imam Syafi’i di atas, semoga kita termasuk orang-orang yang mampu memberikan widad kepada ‘mutarabbi’ kita, bukan dengan tujuan ingin mendapatkan ‘muro’at’, akan tetapi karena Allah swt, dan semoga kita termasuk orang-orang yang senantiasa mampu memberikan ‘ifadah’ kepada orang lain, bukan dengan tujuan mendapatkan ‘intima’, akan tetapi karena ikhlas tulus untuk Allah swt, dan dalam rangka melaksanakan hadits Rasulullah saw: Sungguh, Allah swt memberikan hidayah kepada satu orang lantaran kamu, itu lebih baik bagimu daripada unta merah (Muttafaqun ‘alaih).

Allahumma Aaaamin

Maktab Tarbiyyah, MSM UK & Eire

Jejak langkah yang ditinggalkan… Salam Ma’al Hijrah 1431H

1 Comment

Setiap kali tahun baru menjelang, maka setiap kali itulah kita semua akan membilang umur kita. Sebenarnya sudah melangkah ke alam tua bangka dan bukannya melangkah ke alam muda remaja. Kita masih sibuk lagi dengan menghimpun harta dunia yang tidak pernah habis, membolot dengan lahapnya. Mengaut harta kekayaan selagi hidup dan selagi berkuasa. Mengaut dan memboloti harta dunia dengan rakusan hawa nafsu. Namun kalau harta itu berjaya digunakan ke arah jalan yang baik dan diredhai oleh Allah, maka manfaat besar ke atas diri sendiri amat berbaloi di dunia dan memudahkan perjalanan hidup kita di akhirat.

Maka adapun orang yang melampaui batas dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggalnya. Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari (keinginan) hawa nafsu, maka sesungguhnya, syurgalah tempat tinggalnya. (Surah An Naziat: 37 – 41)

Ibnu ‘Athaillah Al-Iskandari, dalam kitabnya (Al-Hikam) mengatakan: “Satu kerugian dan kehinaan yang besar iaitu anda selesai melaksanakan kesibukan dan pekerjaan anda, lalu anda tidak menghadap Allah; dan bebananmu telah berkurang, tapi engkau tidak bergerak menuju (keredaan)Nya. Yakni Kekasih dan Pelindung hamba Jalla Jalaluhu.”

Kalau sepanjang hidup dipenuhi dengan kerja-kerja mengumpat dan mencela orang lain, maka faedahnya adalah bahang api yang membakar sehingga melunyaikan segala isi perut dan daging yang membaluti jiwa yang bergelumang dengan dosa yang tidak pernah dihirau sedikit kekesalan pun oleh si pemilik tubuh tersebut.

Celakalah bagi setiap pengumpat dan pencela. Yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya. Dia (manusia) mengira bahawa hartanya itu dapat mengekalkannya. Sekali-kali tidak!. Pasti dia akan dilemparkan ke dalam (neraka) Hutamah. Dan tahukah kamu apakah (neraka) Hutamah itu?. (iatu) api (azab) Allah yang dinyalakan, yang (membakar) sampai ke hati. Sungguh, api itu ditutup rapat atas (diri) mereka. (sedang mereka itu) diikat pada tiang-tiang yang panjang. (Surah Al Humazah: 1 – 9)

Kalau sepanjang hidup tidak pernah menghambakan diri kepada yang maha Esa, maka saksikanlah nanti apabila kita berhadapan dengan saat-saat nazak yang mana malaikat maut akan datang menghampiri kita dengan begitu ganas dan rakus untuk menyentap nyawa dari tubuh yang selama ini dijaga dan dirawati dengan semoleknya. Jiwa dibiarkan kering dan gersang dengan tiadanya sifat kehambaan kepada yang maha Esa. Selama kita hidup, dibiarnya jiwa kita dibaluti dengan karat-karat mazmumah yang hanya melayakkan jiwa dan tubuh kita dimamah oleh api neraka jahanam.

Kalau sepanjang hidup tidak pernah sama sekali bersyukur ke atas nikmat yang dikurniakan oleh yang Maha pemberi Rezeki. Maka tunggulah azab pedih yang akan menanti untuk mengajar diri sendiri supaya lebih menghargai erti kesyukuran.

Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?. Inilah neraka jahanam yang didustakan oleh orang-orang yang berdosa. (Surah Ar Rahman : 42 – 43)

Lebih-lebih lagi nikmat Islam yang memang telah menjadi pegangan dan cara hidup kita sejak dari kecil lagi. Terfikirkah kita betapa besarnya hidup dalam Islam. Hidup di dalam keamanan dan sentiasa dinaungi kasih sayang dan rahmat Allah Taala. Banyak sangat nikmat yang telah diberikan oleh yang maha Berkuasa. Bagaimanakah pula nikmat ciptaan ke atas diri kita sendiri?..

Pada hari ini Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku sempurnakan nikmatku bagimu dan Aku redha Islam sebagai agamamu. (Surah Al Maidah: 3)

Semoga amal kita semua akan bertambah baik dan molek dengan semangat azam tahun baru. Tahun baru yang datang tetap merupakan tahun baru, tetapi sedarlah setiap kali kedatangan mereka maka setiap kalilah usia kita akan hampir dengan ajal dan maut. Beringatlah demi untuk keselesaan hidup kita di akhirat.

“Manfaatkanlah lima masa sebelum datang lima masa; Masa hidup kamu sebelum datang saat mati kamu, masa sihat kamu sebelum datang masa sakit kamu, masa lapang kamu sebelum datang masa sibuk kamu, masa muda kamu sebelum datang masa tua kamu, masa kamu kaya sebelum datang masa kamu ditimpa miskin.”(Hadis riwayat Imam al-Hakim dan al-Baihaqi dari Ibnu Abbas r.a.)

“Tidak akan berganjak dua kaki seorang hamba Allah (dari tempat hisab di padang mahsyar) sebelum ia ditanya berkenaan: Umurnya (yakni masa-masa di sepanjang umurnya), bagaimana ia habiskannya? Ilmunya, bagaimana ia amalkannya? Hartanya, dari mana ia perolehi dan cara mana ia belanjakannya? Tubuh-badannya, bagaimana ia gunakannya?(Hadis riwayat Imam at-Tirmizi dari Abi Barzah Nadhlah ibn Abid al-Aslami)

Selamat menyambut tahun baru Maal Hijrah 1431H.

Surajagat 1431H

Kepimpinan Sebagai Tanggungjawab dan Amanah

Leave a comment

DSC07266

By Tajul Arifin bin Che Zakaria

Memandangkan ulama mufassirin menyentuh tentang kekuasaan sebagai satu amanah, maka sedikit komen tentang tanggungjawab yang penting ini. Apabila terlibat dengan tampuk kepimpinan, antara tanggungjawab kepemimpinan yang diwahyukan kepada para nabi dan rasul seperti yang dijelaskan oleh al-marhum Ustaz Mustafa Masyhur di dalam al-Qiyadah wal Jundiyyah adalah seperti berikut :

1. Objektif Islam untuk diamalkan dalam kehidupan, membangunkan Islam sebagai cara hidup yang komprehensif.

2. Memelihara ke-universalan tujuan dan medan gerakan dengan semua konsekuensinya tanpa melupakan satu dari aspeknya. ISLAM adalah satu kesatuan yg memiliki berbagai dimensi yang saling menyempurnakan, tanpa adanya pemisahan.

3. Aspek tarbiyyah ahli yg perlu dijaga, kerana ia adalah satu asas keutuhan, tanpanya tidak dapat mewujudkan generasi penerus pewaris dan pendukung kerja2 amal.

4. Pendidikan buat generasi umat Islam, jangan disibukkkan dengan kegiatan yg melalaikan seperti perlumbaan kereta, lumba suara dan kecantikan.

5. Memberi penekanan khusus buat wanita dan remaja, target jangka masa panjang dan pendek.

6. Mendampingi ahli ilmu agar mendapat pengetahuan yang jelas terhadap sesuatu isu, contohnya untuk pembangunan bangunan rumah, berapa bilik yg perlu ada. Ini namanya keperluan asas.

7. Menjalankan tanggungjawab dakwah kepada berbagai bangsa. Dahulu contohnya PERKIM ditubuhkan untuk target jangka masa panjang agar golongan yang bukan Islam memahami Islam supaya tak memusuhinya.

8. Menyedarkan umat Islam kepentingan berusahniaga, agar jadi mulia dan tidak selama2nya bergantung kepada dana kerajaan semata2.

9. Semasa memikul tanggungjawab ini hendaklah menyusun suatu plan yang dapat menyelesaikan masalah. Ini mencakupi kajian terhadap masalah, tujuan, tahap, jalan penyelesaian, kemungkinan2, serta control yang dapat menjamin kesinambungannya. Jangan buat highway, tapi hanya bantu menyelesaikan masalah dalam masa setahun dua sahaja.

10. Memilih pembantu2 yang dapat menjalankan tugas dengan dedikasi.

11. Hendaklah menyusun waktu dan urusannya dengan efficient.

12. Mengemukakan satu pendapat sahaja berkaitan syariat Islam dalam masalah furu’iyyah yang ada padanya khilafiyyah.

13. Membahagikan masa dgn baik dalam urusan keluarga, administration, activities kemasyarakatannya. Jangan dekat pilihanraya barulah terjengul muka.

14. Elakkan konflik dengan pandangan orang lain selagi dapat mengelakkan.

15. Jika merasakan tanggungjawab itu dapat dilaksanakan oleh orang lain dengan cara yg lebih baik, maka hendaklah diserahkan kepimpinan itu kepadanya.

16. Mengambil pendekatan komunikasi dengan cara yg paling mudah dan berkesan.

17. Berusaha meningkatkan ilmu dengan menghadirkan diri ke kursus2 jangka pendek, bergaul dengan ahli ilmu, mendatangi kelas2 agama dsb.

Dakwah adalah Kita dan Kita adalah Dakwah

Leave a comment

DSC07282 

Posted by Tajul Arifin bin Che Zakaria

Nahnu Du’aatun Qabla Kulli Syai’in. “Kami adalah dai sebelum jadi apapun”.

Suatu gambaran peribadi yang unik dengan penataan risiko terancang untuk meraih masa depan bersama Allah dan Rasul-Nya. Inilah kafilah panjang, pembawa risalah kebenaran yang tak putus sampai ke suatu terminal akhir kebahagiaan syurga penuh ridha Allah swt.

Setiap muslim adalah dai. Kalau bukan dai kepada Allah, bererti ia adalah dai kepada selain Allah, tidak ada pilihan ketiganya, sebab dalam hidup ini, kalau bukan Islam berarti hawa nafsu. Dan hidup di dunia adalah masa untuk memilih secara merdeka, kemudian untuk dipertanggungjawabk an di hadapan Rabbul insan kelak. Bagi muslim, dakwah merupakan darah bagi tubuhnya, ia tidak mampu hidup tanpanya. Aduhai, betapa agungnya agama Islam jika didokongi oleh rijal (orang mulia). 

Dakwah merupakan aktiviti yang begitu dekat dengan aktiviti kaum muslimin. Begitu dekatnya sehingga hampir seluruh lapisan terlibat di dalamnya. Sayang keterlibatan tersebut tidak dibekali ”Fiqh Dakwah” sehingga kerusakan yang ditimbulkan jauh lebih besar daripada kebaikan yang diperbuat.

Di sini menjadi jelas akan pentingnya keperluan terhadap fiqh dakwah, sebagaimana digambarkan oleh para ulama bahwa ”keperluan manusia kepada ilmu lebih mendesak daripada keperluannya terhadap makan dan minum”. Sehingga penting bagi kaum muslimin yang telah dan hendak terjun dalam kancah dakwah untuk membekalkan diri dengan pemahaman yang padu terhadap Islam dan dakwah Islam. Kerana orang yang bersungguh dalam menyampaikan namun tidak memiliki pemahaman yang benar terhadap Islam ”sama bahayanya” dengan orang yang memiliki pemahaman yang benar akan tetapi bodoh di dalam menyampaikan, mengapa?

Pertama; ia akan menyesatkan kaum muslimin dengan logik kosongnya. Kedua; Hal itu akan menjadi ”dalil” bagi orang-orang kafir dalam kekafirannya.

Fiqh dakwah merupakan bahan kemahiran untuk lahirnya pemahaman yang shahih terhadap Islam didukung kemampuan yang baik di dalam menyampaikan. Sehingga dengan aktiviti dakwah ini ummat dapat menyaksikan ”Islam” dalam diri, keluarga dan aktiviti para dai yang melakukan perbaikan ummat secara integral, mengeluarkan manusia dari pekat jahiliyah menuju cahaya Islam.

Bagi mereka yang yang berjalan di atas trek kafilah dakwah menuju cahaya dan kebahagiaan dunia dan akhirat dapat melihat prinsip-prinsip dakwah dan kaedah-kaedahnya, agar menjadi hujjah atau pegangan bagi manusia dan menjadi alasan di hadapan Allah. Ustadz Jum’ah Amin Abdul Aziz memaparkan tentang hal ini iaitu; ”Fiqh Da’wah: Prinsip dan kaedah dasar Dakwah”, yang diambil dari usul fiqh sebagai bekal para dai tersebut adalah sebagai berikut:

1. Qudwah (teladan) sebelum dakwah
2. Menjalin keakraban sebelum pengajaran
3. Mengenalkan Islam sebelum memberi tugas
4. Bertahap dalam pemberian tugas
5. Mempermudah, bukan mempersulit
6. Menyampaikan yang ushul (dasar) sebelum yang furu’ (cabang)
7. Memberi khabar gembira sebelum ancaman
8. Memahamkan
9. Mendidik bukan menelanjangi
10. Menjadi murid seorang imam, bukan muridnya buku.

Harapan: sekiranya Allah swt senantiasa mencurahkan taufiq dan petunjuk-Nya kepada para dai yang ikhlas menyeru manusia ke jalan Allah, memperbaiki diri, keluarga dan masyarakat serta tempat kerja, sehingga Allah terlibat dalam urusan dan kebijakan-kebijakan yang akan ditetapkan untuk orang banyak, demi tegaknya Islam yang indah dalam kehidupan dengan bimbingan Allah dan sesuai panduan manhaj (aturan) dakwah Rasulullah saw.

Wallahu ‘alam

 

Older Entries